اللَّهمَّ أحسِنْ عاقبتَنا في الأمورِ كلِّها ، وأجِرْنا من خِزيِ الدُّنيا وعذابِ الآخرةِ “Ya Allah, jadikan segala urusan kami berakhir dengan baik. Dan lindungi kami dari bencana dunia dan azab akhirat”
Saturday, November 19, 2011
alhamdulillah
Saturday, October 1, 2011
Menikahi Wanita Yang Kurang Cantik Dengan Niat Ibadah
Saya seorang yang sudah menikah dan usiaku 35 tahun. Saya ingin menikah lagi dengan seorang wanita berusia 40 tahun, kurang cantik. Karena saya mengira bisa mendapatkan pahala dengan menikahinya, karena dia seorang janda. Saya menikahinya ikhlas di jalan Allah, agar memenuhi kebutuhan muslimah yang menjaga kesuciannya. Apakah sikap saya dibenarkan?
Jawab:
Alhamdulillah, was shalatu was salamu ‘alaa Rasulillah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi, amma ba’du:
Jika anda mampu menikah lagi dan sanggup bersikap adil terhadap istri-istri anda maka tidak ada masalah bagi anda untuk menikahinya. Kemudian keinginan anda untuk menikahi wanita yang sudah tua, kurang cantik, dalam rangka mewujudkan keinginannya dan memenuhi kebutuhannya maka tindakan anda dengan niat semacam ini akan mendapatkan pahala yang besar, insyaaAllah. Sikap anda memilih wanita tersebut termasuk salah satu bentuk zuhud yang terpuji.
Abu Thalib al-Makki mengatakan:
“Sanggup mencintai wanita yang agak kurang dari sisi fisik, wajah tidak cantik, dan sudah lanjut usia, termasuk salah satu bentuk zuhud.”
Abu Sulaiman pernah mengatakan:
“Zuhud ada pada semua aspek. Termasuk sikap seorang lelaki yang menikahi wanita tua atau yang penampilannya tidak menarik, dalam rangka zuhud terhadap dunia.”
Malik bin Dinar mengatakan:
“Tidak dilarang bagi kalian untuk menikahi wanita yatim. Dia akan mendapatkan pahala ketika dia memberi makan dan pakaian kepadanya. Dia wanita yang ringan belanjanya, rela dengan harta yang sedikit. Dari pada menikahi wanita putri orang kaya – wanita yang merasakan kemegahan dunia – maka dia menjadi beban suami, karena ingin mendapatkan semua yang dia inginkan. Dia meminta pakaian model ini, belikan selimut sutera, sehingga rontok sudah agamanya.”
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, lebih memilih wanita yang buta sebelah, dari pada saudari wanita ini yang sehat dan cantik. Ketika beliau ditawari, Imam Ahmad betanya: “Siapa yang lebih pandai?” Dijawab: Yang buta. Kemudian Imam Ahmad mengatakan: “Nikahkan aku dengannya.” Dan terkadang, menikahi wanita yang rendah (bukan anak orang penting), ada yang cacat fisiknya, dalam rangka menyenangkan hatinya, karena wanita semacam ini tidak dicintai, termasuk ibadah bagi hati, dalam berinteraksi dengan orang yang dicintai.
Allahu a’lam
***
muslimah.or.id
sumber:
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=158089
diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Aku Sangat Membutuhkan-Mu
Saudaraku, menjalani kehidupan di alam dunia adalah sebuah cobaan dari Rabbul ‘alamin. Allah ta’ala berfirman :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2).
Untuk itulah, sebaik-baik insan adalah yang senantiasa menghadirkan perasaan bahwa Rabbnya sedang mengujinya, dengan apapun yang sedang dialaminya; kesenangan, musibah, ataupun terjerembab dalam dosa.
Apakah dia bisa menjadi seorang hamba yang merendahkan diri dan mengagungkan Rabbnya dengan penuh rasa cinta kepada-Nya, yaitu dengan mempersembahkan ibadahnya hanya untuk Dia semata. Sebagaimana ayat yang selalu kita baca setiap harinya, di setiap raka’at sholat yang kita lakukan. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ‘Hanya kepada-Mu –ya Allah- kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.’ Dari situlah, maka segala bentuk kejadian yang menimpanya semestinya dapat menjadi sarana untuk menggapai ridha dan cinta-Nya.
Tatkala kenikmatan menyapa, maka segenap rasa syukur pun dia panjatkan kepada-Nya. Tatkala musibah melanda dan menyayat hati, maka ridha dengan takdir dan bersabar menerima kenyataan adalah ibadah yang akan menghiasi hati, lisan, dan anggota badannya. Demikian pula, ketika hawa nafsu dan bujukan syaitan memperdaya dirinya sehingga dia pun menerjang larangan atau melalaikan kewajibannya, maka kesejukan taubat dan air mata penyesalan akan menghampiri jiwanya.
Saudaraku, berapa banyak kenikmatan yang telah dicurahkan Rabbul ‘alamin kepada kita? Entah berapa banyak, tak ada seorang profesor pun yang yang bisa menjawabnya. Namun, lihatlah keadaan dan tingkah laku kita… Betapa sedikit rasa syukur kita kepada-Nya, dan betapa banyak kemaksiatan yang kita lakukan kepada-Nya. Orang bilang, ‘air susu dibalas air tuba’. Alangkah buruknya, akhlak kita kepada-Nya… Kita mengaku muslim (orang yang pasrah), namun betapa sering kita membantah aturan dan kebijaksanaan-Nya. Kita mengaku beriman, namun betapa sering perintah dan larangan-Nya kita ingkari serta berita-Nya yang kita abaikan. Aduhai, apakah kita merasa mampu membahayakan Rabb yang menguasai jagad raya, dengan kedurhakaan kita kepada-Nya? Demi Allah, hal itu tidaklah bisa membahayakan-Nya! Kamu ini hidup untuk apa?!
Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Saudaraku, banyak orang mengira dengan maksiat mereka akan meraih bahagia. Padahal, sebaliknya. Kebahagiaan sejati tak pernah bisa diraih dengan kedurhakaan kepada-Nya. Seorang profesor yang mulia Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah beberapa waktu lalu –dalam ceramahnya di Masjid Istiqlal Jakarta- menyampaikan nasehat yang sangat indah untuk kaum muslimin di Indonesia. Beliau berkata, ‘as-Sa’aadah biyadillah, wa laa tunaalu illa bi thaa’atillah’. Kebahagiaan itu ada di tangan Allah, dan ia tak akan diraih kecuali dengan taat kepada Allah. Sebuah kalimat yang ringkas, namun sarat akan makna! Semoga Allah membalas beliau dengan sebaik-baik balasan atas nasehat dan arahannya untuk kita…
Saudaraku, demikianlah kenyataannya. Tak ada setetes pun kebahagiaan yang hakiki yang akan diperoleh seorang hamba yang lemah dan penuh dengan kekurangan kecuali dengan cara tunduk dan taat kepada Rabb yang menciptakannya. Oleh sebab itu, Allah mengingatkan segenap insan di alam dunia ini bahwa keberuntungan dan kebahagiaan hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar taat dan mengabdi kepada-Nya. Allah berfirman :
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih, serta saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3). Allah juga mengingatkan :
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123).
Allah berfirman :
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Barangsiapa yang dibebaskan dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya dia telah beruntung/sukses. Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan sekedar kesenangan yang menipu.” (QS. Ali Imran: 185). Allah ‘azza wa jalla juga menyatakan :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41
“Adapun barangsiapa yang merasa takut akan kedudukan Rabbnya dan menahan dirinya dari memperturutkan hawa nafsunya, maka surgalah tempat kembalinya.” (QS. an-Naazi’aat: 40-41)
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Tidak ada kehidupan bagi hati, tidak juga kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan cara mengenal Rabb, sesembahan, dan pencipta dirinya. Yaitu dengan mengenal nama-nama, sifat-sifat, serta perbuatan-perbuatan-Nya. Di samping itu semua, dia menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih dicintainya di atas segala-galanya. Oleh sebab itulah, usaha yang dilakukannya –di alam dunia ini – adalah untuk melakukan perkara-perkara yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya yang mereka itu semua adalah makhluk-Nya.” (Syarh Aqidah Thahawiyah)
Maka berbahagialah orang yang diberikan taufik oleh Allah untuk mengenal Islam dan mencintainya, mengenal Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti ajarannya, serta menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan tempat bergantungnya hati baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan bisa merasakan lezatnya iman, yaitu orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, ridha Islam sebagai agama, dan Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu).
Lezatnya keimanan, bukan diraih dengan mencicipi berbagai macam resep masakan di berbagai restoran dan rumah makan. Apalagi dengan melakukan perkara-perkara yang mengundang murka Allah yang sangat keras hukumannya. Hal ini menunjukkan kepada kita –wahai saudaraku yang mulia, semoga Allah menyelamatkan kita dari pedihnya neraka- bahwa kebahagiaan yang bersemayam di dalam dada dalam bentuk ridha kepada takdir-Nya, selalu merasa di bawah pengawasan-Nya, ingin menggapai cinta dan ridha-Nya, berharap dan takut kepada-Nya, merupakan kelezatan tiada tara yang menghiasi hati orang-orang yang mengenal keagungan Rabbnya. Kelezatan yang bisa diraih dengan taat kepada-Nya. Mereka itulah sesungguhnya orang yang benar-benar hidup di alam dunia ini, dengan cahaya iman dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
Adapun orang-orang ‘tampak berbahagia’ di alam dunia yang fana ini, sementara mereka adalah para pembangkang dan pembantah aturan-Nya, maka sesungguhnya kebahagiaan mereka adalah kesenangan yang semu dan akan berakhir dengan kesengsaraan yang tiada tara. Aduhai, betapa malang orang yang menjual kebahagiaan hakiki dan abadi dengan kesenangan yang semu dan sementara!
Mereka tersenyum, tertawa, dan penuh keceriaan, padahal mereka bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan kepada Rabbnya. Mereka tampakkan kepada manusia seolah-olah mereka bahagia dengan kemaksiatannya. Mereka gambarkan kepada manusia bahwa dengan meninggalkan perintah Allah dan rasul-Nya akan memberikan jalan pintas bagi siapa saja untuk meraih kepuasan dan kenikmatan yang luar biasa. Subhanallah, Maha suci Allah… alangkah buruk perbuatan mereka. Mereka rela menjual agamanya demi mendapatkan secuil kenikmatan dunia. Yang dunia itu di sisi Allah tidak lebih berharga daripada sehelai sayap nyamuk! Allahu akbar!
Maka ingatlah selalu wahai saudaraku –semoga Allah meneguhkan diriku dan dirimu di jalan-Nya- kehidupan kita di dunia ini akan berakhir dengan kematian dan bersambung di alam kubur dan hari kebangkitan. Akan ditanyakan kepada kita ‘siapakah sesembahanmu, apa agamamu, siapakah nabimu’. Apakah akan kita jawab nanti bahwa sesembahan kita adalah hawa nafsu, agama kita adalah kebebasan ala binatang, dan nabi kita adalah para wali-wali syaitan? Ya Allah, lindungilah kami dari pedihnya hukuman-Mu…
Lantas, pada saat ini ketika kaki kita masih menginjakkan bumi yang Allah ciptakan, paru-paru kita masih menghirup udara yang Allah ciptakan, tenggorokan kita masih terbasahi dengan air yang Allah alirkan, kulit kita masih merasakan hangatnya sinar matahari yang Allah ciptakan, mata kita masih bisa memandang berkat adanya cahaya yang Allah ciptakan, jantung kita pun masih berdegup mengalirkan darah yang Allah ciptakan, lidah kita masih bisa bergerak dan melontarkan kata-kata yang semuanya pasti Allah dengarkan, maka adakah di antara kita yang membusungkan dadanya di hadapan manusia dan berkata, “Ya Allah, aku tidak membutuhkan-Mu selama-lamanya!”?
Tentu saja, tidak ada orang sebodoh itu yang mampu melakukannya. Namun, kenyataannya tingkah laku dan perbuatan kita menunjukkan betapa cueknya kita terhadap aturan dan bimbingan-Nya. Seolah-olah tidak ada gunanya Allah mengutus rasul-Nya, tidak ada gunanya Allah turunkan kitab-Nya, dan tidak ada gunanya Allah ciptakan surga dan neraka… Karena kita telah disibukkan dan tenggelam dalam kedurhakaan kepada-Nya…. Dan kita jadikan umur kita habis untuknya, cinta dan benci bukan karena-Nya, memberi dan tidak bukan karena-Nya, diam dan bergerak juga bukan karena-Nya. Bahkan, yang lebih jelek lagi… kita telah memandang keburukan dan dosa kita sebagai kebaikan dan jasa, na’udzu billahi min dzaalik. Afaman zuyyina lahu suu’u ‘amalihi fa ra’aahu hasana..
Maka ketahuilah saudaraku, bahwa kita –tanpa terkecuali- sangat membutuhkan-Nya, di mana saja dan kapan saja kita berada. Karena sesungguhnya langit dan bumi serta segala sesuatu yang di dalamnya adalah berada di bawah kekuasaan dan aturan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apapun yang tidak Allah kehendaki tidak akan pernah terjadi. Karenanya taufik adalah di tangan-Nya, bukan di tangan kita… maka mintalah kepada-Nya semoga Allah mencurahkan taufik dan bimbingan-Nya kepada kita dan tidak menelantarkan kita dalam kebingungan dan dibiarkan hidup tanpa bantuan dari-Nya. Apakah engkau wahai raja, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai orang kaya, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai tentara, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai orang yang rupawan dan berparas jelita merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai para da’i, merasa tidak butuh kepada-Nya?
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin
–
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Sunday, September 25, 2011
Buah Tauhid, Sudahkah Ada Pada Diri Kita?
Saudaraku sekalian –semoga Allah menambahkan nikmat Islam dan Sunnah kepada kita- apabila kita kaji lebih dalam dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang, sesungguhnya faidah mempelajari tauhid sangatlah banyak. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu manfaat dari tauhid adalah ia akan menjadi pilar terbesar untuk membangkitkan kemauan menjalankan ketaatan. Sebab, seorang yang bertauhid akan mempersembahkan amalnya tulus karena Allah subhanahu wa ta’ala. Karena dorongan itulah maka dia akan tetap beramal dalam keadaan sepi/sendirian maupun ketika berada di depan orang/terang-terangan. Sedangkan orang yang tidak bertauhid –misalnya orang yang riya’- maka dia akan melakukan amal sedekah, shalat dan berdzikir hanya jika di sisinya terdapat orang yang melihatnya. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya saya sangat ingin mengerjakan suatu ketaatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Dia” ” (al-Qaul al-Mufid, jilid 1. attasmeem.com).
Ikhlas, menuntut perjuangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan untuk-Nya, dengan lurus [bertauhid]…” (QS. al-Bayyinah : 5). Ibadah tidak akan diterima jika tidak ikhlas. Sebagaimana ia tidak akan diterima jika dilakukan dengan cara yang salah. Seorang yang menginginkan agar amalnya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan berusaha mempelajari ilmu tentang ibadah yang akan dia jalani. Setelah mengetahui ilmu tersebut maka dia pun akan berusaha untuk menerapkannya. Kemudian apabila lupa, maka dia pun kembali membuka bukunya, mengingat-ingat tata cara dan bacaan doa yang luput dari ingatannya. Demikianlah seterusnya, sampai dia berhasil meniru tata cara beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Mungkin diperlukan waktu yang tidak sebentar, sepekan dua pekan, sebulan dua bulan, atau bahkan setahun lamanya sampai dia benar-benar bisa melakukannya dengan baik dan sempurna. Demikianlah ketika seorang ingin menjadikan ibadahnya persis sebagaimana dituntunkan oleh Nabi-Nya.
Maka tidak berbeda halnya dalam hal keikhlasan. Untuk mendapatkan keikhlasan dalam beribadah maka seorang hamba harus senantiasa belajar dan belajar, mengingat-ingat dan merenungkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membaca ayat-ayat al-Qur’an, menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membaca keterangan-keterangan para ulama. al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab al-‘Ilm dalam Shahihnya dengan judul ’Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Apa yang beliau kemukakan sangatlah tepat! Dan tidak cukup berhenti di situ saja, setelah mengetahui ilmunya, maka orang masih harus melakukan perjuangan berikutnya yaitu agar ikhlas itu benar-benar terwujud dalam dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. al-Ankabut : 69).
Pentingnya ilmu ikhlas
Kita semua tahu bahwa untuk berwudhu yang benar ada ilmunya. Untuk shalat yang benar ada ilmunya. Untuk berpuasa yang benar ada ilmunya. Demikian pula untuk menunaikan ibadah-ibadah lain dengan benar pun ada ilmunya. Namun hendaknya kita juga ingat bahwa ternyata ikhlas pun ada ilmunya. Bagaimana tidak? Sementara ikhlas itulah tujuan hidup kita, untuk mengajak kepada keikhlasan itulah para rasul dibangkitkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang mengajak] sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36).
Salah satu bukti pentingnya ilmu ikhlas ini adalah apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin fil hadits Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, an-Nawawi, dan Syaikh as-Sa’di rahimahumullah yang memulai kitab mereka dengan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’. Anda bisa melihat hal itu dalam Sahih Bukhari, hadits yang pertama. Umdat al-Ahkam hadits yang pertama. al-Arba’in an-Nawawiyah, hadits yang pertama. Bahjat al-Qulub al-Abrar, hadits yang pertama. Para ulama terkemuka itu menempatkan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’ sebagai hadits pertama dalam kitab-kitab mereka. Tentu saja hal itu menunjukkan betapa pentingnya kandungan hadits tersebut yang tidak lain adalah ajaran keikhlasan beribadah untuk Allah ta’ala.
Buah tauhid itu (baca: ikhlas) sudah ada dalam diri kita?
Menilai orang lain sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun, ketika kita berusaha untuk menilai diri sendiri terkadang kita mengalami kesulitan. Sebagian orang –yang tertipu- merasa bahwa dirinya sudah ikhlas padahal dia belum ikhlas. Sebagian orang yang lain berjuang untuk meraih keikhlasan namun dengan cara-cara yang tidak disyari’atkan, sampai-sampai banyak kewajiban dan ibadah yang ditinggalkannya demi mendapatkan apa yang dia anggap sebagai keikhlasan. Dia meninggalkan amal karena takut dikatakan sebagai orang yang riya’. Sebagian lagi berusaha untuk ikhlas, namun godaan dan rintangan kerapkali menyeretnya ke tepi-tepi jurang kemunafikan. Ketika bersama orang banyak begitu bersemangat, namun ketika sendirian maka lenyaplah gairahnya untuk beramal. Aduhai, termasuk kelompok yang manakah kita?
Saudaraku, perlu kita sadari bahwa riya’d alam beramal merupakan akhlak yang sangat tercela. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Riya’ adalah akhlak yang sangat tercela dan ia termasuk ciri orang munafik.” (al-Qaul al-Mufid, jilid 2. at-tasmeem.com). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka (orang-orang munafik) hendak mendirikan shalat, maka mereka lakukan dengan rasa malas. Mereka ingin amalnya dilihat oleh manusia (riya’), dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. an-Nisaa’: 143).
Sebenarnya apa sih yang kita harapkan dalam hidup ini? Bukankah kitaberharap Allah menerima amal-amal kita? Bukankah kita juga berharap Allah mengampuni dosa-dosa kita? Bukankah kita juga berharap kelak Allah memasukkan kita ke surga dan menyelamatkan kita dari api neraka? Bukankah kita juga tahu bahwa hanya Allah yang bisa memenuhi harapan-harapan kita tersebut? Kita pun tahu bahwa tak seorang pun manusia yang menguasai pemberian rezeki, kehidupan, kematian, surga dan neraka selain Allah semata? Lalu mengapa kita tertipu oleh pujian manusia, dukungan mereka, senyuman mereka dan kedudukan mereka? Apa yang bisa kita harapkan dari manusia? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya apa-apa yang kalian seru (ibadahi) selain Allah itu hanyalah hamba [yang lemah] sebagaimana kalian.” (QS. al-A’raaf : 194). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap untuk berjumpa dengan Rabbnya maka lakukanlah amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun [dengan Allah] dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi : 110).
Cukuplah Allah sebagai saksi atas amal-amal kita! Alangkah meruginya apabila kita mengalami nasib buruk seperti tiga golongan orang yang diadili pertama kali pada hari kiamat nanti. Mereka berjihad, menimba ilmu serta mengajarkannya, rajin berderma; namun ternyata mereka riya’. Dan oleh karena dosa itulah Allah tak segan-segan untuk mencampakkan mereka ke dalam neraka, wal ‘iyadzu billah! Semoga Allah menjaga diri kita dari syirik yang tersembunyi, dan semoga Allah mencabut nyawa kita dalam keadaan kita mengabdi kepada-Nya semata; bukan mengabdi kepada dunia ataupun hawa nafsu manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 20 Muharram 1430 H
–
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Thursday, September 22, 2011
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan,
“Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala menceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya (yang artinya), “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml : 40).”
Kembali beliau memaparkan,
“Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17). Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149).
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Bersatu dan Jangan Berpecah Belah
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)
Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat ini: Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada agama Allah yang telah Dia perintahkan, dan (berpeganglah kamu semuanya) kepada janjiNya yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. [Jami’ul Bayan 4/30.]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Dia (Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga. Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73 firqah. Diantaranya terdapat satu firqah najiyah (yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi n dan para sahabat beliau.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, surat Ali Imran:103.]
Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah (persatuan) merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]
Al Qurthubi juga mengatakan,“Maka Allah Ta’ala mewajibkan kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah NabiNya, serta -ketika berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan perbuatan. Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi pada kedua ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164)
Beliau juga mengatakan,“Boleh juga maknanya, janganlah kamu berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan yang bermacam-macam. Jadilah kamu saudara-saudara di dalam agama Allah, sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan dan membelakangi.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]
Asy Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini,“Allah memerintahkan mereka bersatu di atas landasan agama Islam, atau kepada Al Qur’an. Dan melarang mereka dari perpecahan yang muncul akibat perselisihan di dalam agama.” [Fahul Qadir 1/367.]
Dari penjelasan para ulama di atas, dapat diambil beberapa perkara penting berkaitan dengan masalah persatuan.
Pertama. Perkataan Imam Ath Thabari: Berpeganglah kamu kepada janjiNya, yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah; menunjukkan kaidah dan landasan penting tentang persatuan yang benar. Yaitu: persatuan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. Kalimat yang haq, sering diistilahkan untuk kalimat la ilaha illa Allah, termasuk Muhammad Rasulullah. Dengan demikian, asas persatuan ialah tauhid dan Sunnah. Tidak ada persatuan tanpa tauhid dan Sunnah Rasulullah n . Persatuan yang dibangun tidak berdasarkan tauhid, merupakan model persatuan orang-orang musyrik. Dan persatuan yang tidak di atas Sunnah, merupakan persatuan ahli bid’ah. Bukan Ahlus Sunnah!
Kedua. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah yang menghubungkan ayat di atas -yang memerintahkan persatuan- dengan hadits firqah najiyah -menunjukkan- bahwa persatuan yang haq, ialah dengan mengikuti apa-apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau. Membangun persatuan, yaitu dengan mengikuti Al Kitab dan As Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, kemudian menolak bid’ah. Karena seluruh bid’ah merupakan kesesatan. Bid’ah adalah perkara baru dalam agama, yang tidak ada pada zaman Rasulullah n dan para sahabatnya.
Ketiga. Perkataan Al Qurhubi rahimahullah menjadi jelas bagi kita, bahwa langkah menuju persatuan yaitu dengan berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah NabiNya, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Dan jika terjadi perselisihan, maka dikembalikan kepada keduanya.
Keempat. Demikian juga penjelasan Asy Syaukani. Bahwa persatuan, ialah dengan berpegang kepada agama Allah; dengan berpegang kepada Al Qur’an.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَنَّ هذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS Al An’am:153).
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata,“Ayat ini memuat perintah agar konsisten terhadap agama Islam, dalam masalah aqidah, ibadah, hukum, akhlaq, dan adab. Ayat ini juga memuat larangan mengikuti selain Islam, yaitu seluruh agama-agama dan sekte-sekte, yang Allah istilahkan dengan ‘jalan-jalan’. (Aisarut Tafasir)
Menjelaskan firman Allah: dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain); Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,”Yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan ini.” (Firman Allah: karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya), yaitu akan menyesatkan dan mencerai-beraikan kamu darinya. Maka jika kamu telah sesat dari jalan yang lurus, maka di sana tidak ada lagi, kecuali jalan-jalan yang akan menghantarkan menuju neraka jahim.” (Taisir Karimir Rahman).
Kemudian dari ayat di atas dapat diambil petunjuk, bahwa diantara langkah menuju dan menjaga persatuan ialah dengan menetapi agama Islam sampai mati, dan berlepas diri dari selainnya, yang berupa: madzhab-madzhab, agama-agama, dan jalan-jalan selain Islam.
LANGKAH MENUJU PERSATUAN
Setelah kita sampaikan perintah Allah tentang masalah persatuan ini, maka bagaimana keadaan umat yang sudah terpecah-belah ini dapat dipersatukan lagi? Tidakkah persatuan umat itu merupakan impian semata yang mustahil diwujudkan?
Sesungguhnya, agama kita mengajarkan segala kebaikan yang dibutuhkan umat manusia. Sedangkan persatuan umat Islam merupakan salah satu prinsip terbesar agama ini. Maka sudah pasti terdapat cara mengobati penyakit perpecahan umat yang sudah berabad-abad lamanya menggerogoti tubuh ini!
Berikut diantara langkah menuju persatuan umat Islam yang didambakan.
Pertama. Memutuskan Perkara Dengan Al Kitab dan As Sunnah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisa’:59).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia -yang berupa ushuluddin dan furu’- kepada Allah dan RasulNya, yaitu kepada kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terdapat penyelesaian untuk seluruh perkara yang diperselisihkan. Mungkin dengan jelas di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna, yang serupa dengannya dapat dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah RasulNya merupakan fondasi bangunan agama. Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya. Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.” (Taisir Karimir Rahman).
Barangsipa bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah, niscaya akan terhindar dari kesesatan. Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
Barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS Thaha:123).
Kedua. Menetapi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan meninggalkan seluruh bid’ah agama; mengikuti Sunnah Rasullah n , mengikuti Sunnah dan pemahaman sahabat terhadap agama ini. Baik dalam perkara aqidah, ibadah, akhlaq, politik, ekonomi, dan seluruh sisi kehidupan beragama lainnya. Kemudian, menolak seluruh bid’ah. Karena bid’ah, sesungguhnya merupakan salah satu penyebab perpecahan terbesar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Ketiga. Ikhlas dan memurnikan mutaba’ah.
Ketika Nabi Yusuf mengikhlaskan untuk Rabbnya, Allah memalingkan darinya pendorong-pendorong keburukan dan kekejian.
Allah Ta’ala berfirman,
كَذلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang dijadikan ikhlas. (QS Yusuf:24).
Oleh karena inilah ketika Iblis mengetahui bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,
فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka, (QS Shad:82-83).
Maka ikhlas merupakan jalan kebebasan, Islam sebagai kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [Al ‘Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, tansiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.]
Hendaklah kaum muslimin menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi satu-satunya manusia yang diikuti secara mutlak. Adapun selain beliau, maka perkataannya dapat diterima atau ditolak, sesuai dengan ukuran kebenaran. Karena seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq, sedangkan yang menyelisihinya adalah batil. Amalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk menjadikan amal tersebut tertolak.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat. Menuntut ilmu syar’i dan mendalami agama dari ahlinya.
Untuk mengikuti al jama’ah, mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidaklah dapat dijalankan kecuali dengan bimbingan para ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena para ulama itu sebagai al jama’ah. Maka seseorang yang ingin selalu menetapi kebenaran dan persatuan, harus selalu mendalami agama dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah yang lurus aqidahnya, terpercaya amanahnya dan agamanya.
Bergaul dengan ahli ilmu, meneladani akhlak, mengambil ilmu mereka dengan manhaj yang lurus merupakan langkah untuk menjauhi perpecahan dan menjaga persatuan. Dan para ulama itu akan selalu ada sepanjang zaman, sampai dikehendaki oleh Allah. Mereka itu adalah thaifah al manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah).
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS An Nahl:43)
PENUTUP
Demikianlah sebagian langkah untuk merajut persatuan. Jika umat ini benar-benar mengikuti agamanya, maka mereka akan hidup bersaudara sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau di bawah ini,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah).
Juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain, dan beliau menjalin antara jari-jarinya.
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.
Disusun oleh Ustadz Muslim Al-Atsari
Artikel www.ustadzmuslim.com, dipublish ulang www.muslim.or.id
Memotong Jenggot Yang Lebih Dari Satu Genggam
Posted: 19 Sep 2011 06:51 PM PDT
Sebagian ulama memang ada yang membolehkan memotong jenggot jika telah lebih dari satu genggaman[1]. Mereka adalah ulama Hanafiyah dan Hambali[2]. Dalil yang jadi pegangan adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu yang disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
“Ibnu ‘Umar biasa ketika berhaji atau melaksanakan umroh, beliau menggenggam jenggotnya dan selebihnya dari genggaman tadi, beliau potong” [3].
Ulama-ulama tersebut pun mengatakan bahwa Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu yang membawakan hadits “biarkanlah jenggot” melakukan seperti ini dan beliau lebih tahu apa yang beliau riwayatkan.
Untuk menanggapi pernyataan ulama-ulama tersebut, ada beberapa sanggahan berikut.
- Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu hanya memendekkan jenggotnya ketika tahallul saat ihram dan haji saja, bukan setiap waktu. Maka tidak tepat perbuatan beliau menjadi dalil bagi orang yang memendekkan jenggotnya setiap saat bahkan jenggotnya dipangkas habis hingga mengkilap bersih.
- Perbuatan Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu muncul karena beliau memahami firman Allah Ta’alaketika manasik,
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
“Dengan mencukur rambut kepala dan memendekkannya.” (QS. Al Fath: 27).
Beliau menafsirkan ayat ini bahwa ketika manasik hendaklah mencukur rambut kepala dan memendekkan jenggot.
- Kita sudah melihat riwayat dari Ibnu ‘Umar yang berisi perintah membiarkan jenggot (artinya tidak dirapikan sama sekali). Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”[4]
Apabila perkataan atau perbuatan sahabat menyelisihi apa yang ia riwayatkan, maka yang jadi tolak ukur tentu saja haditsnya, bukan pada pemahaman atau perbuatannya. Jadi yang tepat, kembalikanlah pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu membiarkan jenggot sebagaimana adanya hingga lebat.
Dengan demikian, pendapat yang lebih tepat adalah wajib membiarkan jenggot apa adanya tanpa memangkas atau memendekkannya dalam rangka mengamalkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya.[5] Demikianlah yang menjadi pendapat Imam Nawawi rahimahullah sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya[6].
Adapun memotong kurang dari satu genggaman, sama sekali tidak ada satu ulama pun yang membolehkannya sebagaimana kata Ibnu ‘Abidin.[7] Namun demikianlah sungguh aneh orang di sekitar kita, jenggotnya belum sampai 1 cm saja, malah sudah dipangkas hingga habis. Jadi perbuatan Ibnu ‘Umar bukanlah alasan untuk merapikan jenggot. Wallahu waliyyut taufiq.
[Cuplikan dari buku penulis “Mengikuti Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah Teroris” yang akan diterbitkan oleh Pustaka Muslim-Jogja, insya Allah].
Panggang-Gunung Kidul, 13 Jumadats Tsaniyah 1432 H
[1] Namun yang dipotong adalah bagian bawah genggaman dan bukan atasnya. Misalnya kita memegang jenggot yang cukup lebat dengan satu genggaman tangan, maka sisa di bawah yang lebih dari satu genggaman boleh dipotong menurut mereka.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 35/224.
[3] HR. Bukhari no. 6892.
[4] HR. Bukhari no. 5893
[5] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/102-103.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 35/225.
[7] Idem.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Majelis Dzikir
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ قَالَ وَمَاذَا يَسْأَلُونِي قَالُوا يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ قَالَ وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِي قَالُوا لَا أَيْ رَبِّ قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِي قَالُوا وَيَسْتَجِيرُونَكَ قَالَ وَمِمَّ يَسْتَجِيرُونَنِي قَالُوا مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ قَالَ وَهَلْ رَأَوْا نَارِي قَالُوا لَا قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِي قَالُوا وَيَسْتَغْفِرُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوا وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوا قَالَ فَيَقُولُونَ رَبِّ فِيهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إِنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ قَالَ فَيَقُولُ وَلَهُ غَفَرْتُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
Muhammad bin Hatim bin Maimun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Bahz menuturkan kepada kami. Dia berkata; Wuhaib menuturkan kepada kami. Dia berkata; Suhail menuturkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki para malaikat khusus yang senantiasa berkeliling mencari di mana adanya majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemukan sebuah majelis yang padanya terdapat dzikir maka mereka pun duduk bersama orang-orang itu dan meliputi mereka satu sama lain dengan sayap-sayapnya sampai-sampai mereka memenuhi jarak antara orang-orang itu dengan langit terendah, kemudian apabila orang-orang itu telah bubar maka mereka pun naik menuju ke atas langit” Nabi berkata, “Maka Allah ‘azza wa jalla pun bertanya kepada mereka sedangkan Dia adalah yang paling mengetahui keadaan mereka, ‘Dari mana kalian datang?’. Para malaikat itu menjawab, ‘Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu yang ada di bumi. Mereka mensucikan-Mu (bertasbih), mengagungkan-Mu (bertakbir), mengucapkan tahlil, dan memuji-Mu (bertahmid), serta meminta (berdo’a) kepada-Mu.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang mereka minta kepada-Ku?’. Para malaikat itu menjawab, ‘Mereka meminta kepada-Mu surga-Mu.’ Allah bertanya, ‘Apakah mereka telah melihat surga-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Belum wahai Rabbku.’ Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimana lagi jika mereka benar-benar telah melihat surga-Ku?’. Para malaikat itu berkata, ‘Mereka juga meminta perlindungan kepada-Mu.’ Allah bertanya, ‘Dari apakah mereka meminta perlindungan-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Mereka berlindung dari neraka-Mu, wahai Rabbku’. Maka Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Belum, wahai Rabbku.’ Lalu Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimanakah lagi jika mereka telah melihat neraka-Ku.’ Mereka mengatakan, ‘Mereka meminta ampunan kepada-Mu.’ Maka Allah mengatakan, ‘Sungguh Aku telah mengampuni mereka. Dan Aku telah berikan apa yang mereka minta dan Aku lindungi mereka dari apa yang mereka minta untuk berlindung darinya.’.” Nabi bersabda, “Para malaikat itu berkata, ‘Wahai Rabbku, di antara mereka ada si fulan, seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa, sesungguhnya dia hanya lewat kemudian duduk bersama mereka.’.” Nabi mengatakan, “Maka Allah berfirman, ‘Dan kepadanya juga Aku akan ampuni. Orang-orang itu adalah sebuah kaum yang teman duduk mereka tidak akan binasa.’.” (HR. Muslim dalam Kitab ad-Dzikr wa ad-Du’a wa at-Taubah wa al-Istighfar, hadits no. 2689, lihat Syarh Muslim [8/284-285] cetakan Dar Ibn al-Haitsam)
Hadits yang mulia ini memberikan banyak pelajaran penting bagi kita, di antaranya adalah :
- Hadits ini menunjukkan tentang keutamaan dzikir dan majelis dzikir serta duduk bersama orang-orang yang berdzikir (Syarh Nawawi [8/285])
- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan duduk bersama orang-orang soleh (Syarh Nawawi [8/285])
- Di dalamnya juga terkandung iman kepada para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk nyata bukan khayalan, dan malaikat tersebut memiliki sayap. Dan Allah tidak membutuhkan malaikat
- Hadits ini juga menunjukkan disyari’atkannya membuat majelis dzikir yang di dalamnya mereka mengingat Allah, memuji, dan mengagungkan-Nya, mensucikan dan memohon ampunan-Nya. Namun ini bukan berarti berdzikir secara berjama’ah yang banyak dikenal oleh orang pada jaman sekarang. Yang dimaksud adalah memperbanyak dzikir tersebut secara sendiri-sendiri di dalam majelis tersebut tanpa perlu dikomando. Hal ini berdasarkan atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu yang mengingkari perbuatan orang-orang yang melakukan hal semacam itu. Dan hendaknya dzikir itu dengan suara yang pelan, tidak perlu dikeras-keraskan.
- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bacaan tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir dibandingkan bacaan dzikir yang lain.
- Penetapan sifat Allah al-Kalam/berbicara demikian juga al-’Ilmu/mengetahui
- Disyari’atkannya berdoa kepada Allah agar masuk surga dan selamat dari neraka
- Di dalamnya juga terkandung dorongan untuk beramal saleh supaya masuk ke dalam surga
- Di dalamnya juga terkandung peringatan dan ancaman agar menjauhi amal-amal buruk aagar tidak terjerumus ke neraka
- Surga dipenuhi dengan kenikmatan sedangkan neraka dipenuhi dengan kesengsaraan
- Iman kepada surga dan neraka
- Hadits ini menunjukkan keutamaan beriman kepada perkara gaib
- Penetapan salah satu nama Allah yaitu Rabb
- Bolehnya menyeru Allah dengan lafazh Ya Rabbi (wahai Rabbku)
- Disyari’atkannya untuk meminta ampunan kepada Allah
- Hadits ini juga menunjukkan kemurahan Allah ta’ala
- Hadits ini menunjukkan bahwa Allah itu tinggi berada di atas langit
- Duduk di majelis ilmu merupakan sebab terampuninya dosa dan terkabulnya doa
- Dan faidah lainnya yang belum saya ketahui, wallahu a’lam.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
–
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Sunday, September 18, 2011
Shalat Istisqa (2)
Khutbah istisqa hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun para ulama berbeda pendapat apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya:
Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anahu:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam keluar untuk melakukan istisqa`. Beliau shalat 2 raka’at mengimami kami tanpa azan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan” (HR. Ahmad 16/142, hadits ini dinilai dhaif oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah, 5360)
Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah riwayat lain dari hadits Abdullah bin Zaid Al Mazini Radhiallahu’anahu:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج بالناس ليستسقي فصلى بهم ركعتين جهر بالقراءة فيهما وحول رداءه ورفع يديه فدعا واستسقى واستقبل القبلة
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar bersama orang-orang untuk istisqa’. Beliau lalu shalat mengimami mereka sebanyak 2 raka’at dengan bacaan yang dikeraskan pada kedua raka’at. Kemudian beliau membalik posisi selendangnya, lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa meminta hujan sambil menghadap kiblat” (HR. Abu Daud no.1161, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Pendapat kedua, khutbah dahulu, lalu berdoa, kemudian shalat. Diantara dalilnya adalah hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas yang telah disebutkan.
Namun perbedaan ini adalah jenis khilaf tanawwu atau perbedaan dalam variasi, artinya dibolehkan mendahulukan shalat dulu ataupun khutbah dulu. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata1 : “Apa yang diperselisihkan ini dapat digabungkan dari segi riwayat. Yaitu sebagian riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai dengan doa kemudian shalat 2 rakaat kemudian khutbah. Lalu sebagian rawi mencukupkan diri pada riwayat tersebut. Sebagian riwayat lagi menyebutkan dimulai dengan khutbah yang di dalamnya ada doa, sehingga terjadilah perbedaan pendapat”
Membalik Rida’
Memakai rida’ (semacam selendang) dan membalik posisi rida’ disunnahkan dalam istisqa, yaitu dengan menaruh kain yang disebelah kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri. Hadits-hadits yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak, diantaranya hadits Abu Hurairah, hadits Abdullah bin Zaid, hadits ‘Aisyah yang sudah disebutkan.
Membalikan rida’ ini dapat dilakukan setelah berdoa, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa, sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid Radhiallahu’anahu :
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المصلى فاستسقى . وحول ردائه حين استقبل القبلة
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan untuk istisqa’. Beliau membalik rida’-nya ketika mulai menghadap kiblat” (HR. Muslim, no.894)
Namun para ulama berbeda pendapat apakah hanya imam yang melakukan hal tersebut ataukah makmum juga? Perbedaan pendapat ini terkait beberapa riwayat yang diperselisihkan keshahihannya, diantaranya hadits berikut:
رأيت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - حين استسقى لنا أطال الدعاء وأكثر المسألة، ثم تحول إلى القبلة وحول رداءه فقلبه ظهرًا لبطن، وتحول الناس معه
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa beliau memperpanjang doanya, memperbanyak permintaannya, lalu membalik badan ke arah kiblat dan membalik posisi rida’-nya, kain yang atas di perut dipindah ke punggung. Lalu orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka” (HR. Ahmad, 4/41. Syaikh Al Albani dalam Tamaamul Minnah, 264, berkata: ‘Sanadnya qawi, namun lafadz ‘orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka‘ adalah lafadz yang syadz‘).
Kebanyakan ahli hadits menilai hadits ini atau semisalnya sebagai hadits yang syadz. Wallahu’alam, yang lebih rajih, perbuatan ini hanya dianjurkan kepada imam.
Rida’ dalam hal ini bisa digantikan dengan yang semisalnya. Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullah berkata: “Disunnahkan membalikkan rida’ ketika mengakhiri doa. Ujung kanan diletakkan di sebelah kiri,yang kiri diletakkan di sebelah kanan. Demikian juga kain yang sejenis rida’, seperti abaya atau yang lain”2
Adab-Adab Istisqa
Pertama, karena tidak ada waktu khusus untuk melakukan shalat istisqa, maka hendaknya imam membuat kesepakatan dengan masyarakat mengenai hari pelaksanaan shalat. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan:
ووعد الناس يومًا يخرجوا فيه
“lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan”
Kedua, keluar menuju lapangan tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu dan kerendahan hati. Sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati hingga tiba di lapangan”
Ketiga, mengajak semua orang untuk hadir, kecuali para wanita yang dapat menimbulkan fitnah. Ibnu Qudamah berkata: “Dianjurkan bagi semua orang untuk hadir. Lebih diutamakan lagi orang yang memiliki hutang, para masyaikh dan orang-orang shalih. Karena doa mereka lebih cepat diijabah. Para wanita, orang-orang yang sudah tua yang kecantikannya tidak menarik perhatian, tidak mengapa ikut keluar. Adapun para gadis atau wanita yang sangat cantik, tidak dianjurkan untuk keluar. Karena bahaya yang dapat terjadi dengan keluarnya mereka, lebih besar daripada manfaatnya”3.
Keempat, tidak ada adzan atau iqamah sebelum shalat istisqa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah dan juga demikianlah praktek yang dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana dikisahkan oleh Abu Ishaq:
خرج عبد الله بن يزيد الأنصاري ، وخرج معه البراء بن عازب وزيد بن أرقم ، رضي الله عنهم ، فاستسقى ، فقام بهم على رجليه على غير منبر ، فاستغفر ، ثم صلى ركعتين يجهر بالقراءة ، ولم يؤذن ولم يقم قال أبو إسحاق: ورأى عبد الله بن يزيد النبي - صلى الله عليه وسلم -
“Abdullah bin Yazid Al Anshari keluar. Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam membersamainya. Semoga Allah meridhai mereka semua. Mereka lalu ber-istisqa’. Abdullah bin Yazid berdiri tanpa menggunakan mimbar. Ia beristighfar, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan, tanpa ada adzan dan iqamah”. Abu Ishaq berkata: “Abdullah bin Yazid pernah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Bukhari no.1022)
Kelima, menasehati kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah, meninggalkan maksiat, memperbanyak istighfar, puasa dan sedekah. Kebiasaan ini dilakukan oleh para salafus shalih, sebagaimana Abdullah bin Yazid Radhiallahu’anhu, juga yang dilakukan oleh Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah dalam suratnya kepada Maimun bin Mihran4, beliau berkata:
إني كتبت إلى أهل الأمصار أن يخرجوا يوم كذا من شهر كذا؛ ليستسقوا، ومن استطاع أن يصوم ويتصدق؛ فليفعل؛ فإن الله يقول: {قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى * وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى} (5) ، وقولوا كما قال أبواكم: {قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْتَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} (1) ، وقولوا كما قال نوح: {وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ} (2) ، وقولوا كما قال موسى: {إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} (3) ، وقولوا كما قال يونس: {لا إِلَهَ إِلا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Aku menulis surat ini kepada para penduduk kota, supaya mereka keluar pada suatu hari yang mereka tentukan, untuk ber-istisqa’. Barangsiapa yang sanggup berpuasa dan bersedekah, hendaknya lakukanlah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Rabb-nya dan mengerjakan shalat‘. Dan berdoakan sebagaimana doa bapak kalian (Adam): ‘Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Nuh: ‘Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Musa: ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Yunus: ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim‘”
Keenam, bersungguh-sungguh dalam menengadahkan tangan ke langit ketika berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anahu berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasllam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)
Dalam riwayat Muslim:
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - استسقى فأشار بظهر كفيه إلى السماء
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa dan mengarahkan punggung kedua tangannya ke langit”
Juga disebutkan dalam hadits ‘Aisyah.
Ketujuh, imam membalikan badan ke arah kiblat, membelakangi para jama’ah, ketika berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah :
ثم رفع يديه فلم يزل في الرفع حتى بدا بياض إبطيه ثم حول إلى الناس ظهره
“… kemudian beliau terus-menerus mengangkat kedua tangannya sampai terlihat ketiaknya yang putih, lalu membelakangi orang-orang…”
juga dalam hadits Abdullah bin Zaid disebutkan:
أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى المصلى ، فاستسقى فاستقبل القبلة
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat”
Doa-doa Istisqa
Berikut ini beberapa doa yang dipraktekkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa:
اللهم اسقنا، اللهم اسقنا، اللهم اسقنا
“Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x” (HR. Bukhari, no. 1013, 1014, Muslim no.897)
Dalam riwayat Muslim:
اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا
“Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x”
اللهم اسقنا غيثًا مغيثًا، مريعًا، نافعًا غير ضار، عاجلاً غير آجل
“Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang terus-menerus, yang bermanfaat serta tidak membahayakan, yang datang dengan segera dan tidak tertunda” (HR. Abu Daud no.1169, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، ملك يوم الدين، لا إله إلا الله يفعل ما يريد، اللهم أنت الله لا إله إلا أنت الغني ونحن الفقراء، أنزل علينا الغيث واجعل ما أنزلت لنا قوة وبلاغًا إلى حين
“Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
اللهم اسق عبادك، وبهائمك، وانشر رحمتك، وأحيي بلدك الميت
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada hamba-Mu, serta hewan-hewan ternak, tebarkanlah rahmat-Mu, serta hidupkanlah negeri-negeri yang mati” (HR. Abu Daud no.1176, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
اللهم اسقنا غيثًا مريئًا مريعًا طبقًا عاجلاً غير رائث ، نافعًا غير ضار
“Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang memberi kebaikan, yang terus-menerus, yang memenuhi bumi, yang datang dengan segera dan tidak tertunda, yang bermanfaat serta tidak membahayakan” (HR. Ibnu Maajah no.1269, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)
Demikian pembahasan singkat mengenai istisqa’, mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa orang-orang yang istisqa dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat bagi semua orang. Amiin ya mujiibas sailiin.
—
1 Fathul Baari, 2/500
2 Al Mulakhas Al Fiqhi 289
3 Al Mughni, 3/335
4 Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya, 3/87, dengan sanad yang shahih
Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.
—
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Shalat Istisqa (1)
ذكر الاستسقاء في الحديث، وهو استفعال من طلب السقيا: أي إنزال الغيث على البلاد والعباد
“Istisqa disebutkan dalam hadits. Arti istisqa adalah permohonan meminta as saqa, yaitu diturunkannya hujan kepada sebuah negeri atau kepada orang-orang”1
Namun di kalangan ahli fiqih, sudah dipahami jika disebut shalat istisqa, yang dimaksud adalah permohonan diturunkannya hujan kepada Allah, bukan kepada makhluk2.
Hukum Shalat Istisqa
Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan) ketika terjadi musim kering, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan hal tersebut, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
شكا الناس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم قحوط المطر فأمر بمنبر فوضع له في المصلى ووعد الناس يوما يخرجون فيه قالت عائشة فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بدا حاجب الشمس فقعد على المنبر فكبر صلى الله عليه وسلم وحمد الله عز وجل ثم قال إنكم شكوتم جدب دياركم واستئخار المطر عن إبان زمانه عنكم وقد أمركم الله عز وجل أن تدعوه ووعدكم أن يستجيب لكم ثم قال ( الحمد لله رب العالمين الرحمن الرحيم ملك يوم الدين ) لا إله إلا الله يفعل ما يريد اللهم أنت الله لا إله إلا أنت الغني ونحن الفقراء أنزل علينا الغيث واجعل ما أنزلت لنا قوة وبلاغا إلى حين ثم رفع يديه فلم يزل في الرفع حتى بدا بياض إبطيه ثم حول إلى الناس ظهره وقلب أو حول رداءه وهو رافع يديه ثم أقبل على الناس ونزل فصلى ركعتين فأنشأ الله سحابة فرعدت وبرقت ثم أمطرت بإذن الله فلم يأت مسجده حتى سالت السيول فلما رأى سرعتهم إلى الكن ضحك صلى الله عليه وسلم حتى بدت نواجذه فقال أشهد أن الله على كل شيء قدير وأني عبد الله ورسوله
“Orang-orang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang musim kemarau yang panjang. Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang, lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan”. Aisyah lalu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat, lalu beliau duduk di mimbar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan mengabulkan doa kalian” Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan. (QS. Al-Fatihah: 2-4). laa ilaha illallahu yaf’alu maa yuriid. allahumma antallahu laa ilaha illa antal ghaniyyu wa nahnul fuqara`. anzil alainal ghaitsa waj’al maa anzalta lanaa quwwatan wa balaghan ilaa hiin (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan).” Kemudian beliau terus mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau. Kemudian beliau membalikkan punggungnya, membelakangi orang-orang dan membalik posisi selendangnya, ketika itu beliau masih mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun dari mimbar dan shalat dua raka’at. Lalu Allah mendatangkan awan yang disertai guruh dan petir. Turunlah hujan dengan izin Allah. Beliau tidak kembali menuju masjid sampai air bah mengalir di sekitarnya. Ketika beliau melihat orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh, beliau tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda: “Aku bersaksi bahwa Allah adalah Maha kuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Ibnu Qudamah berkata: “Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah, ditetapkan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Khulafa Ar Rasyidin“3
Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Para ulama telah ber-’ijma bahwa keluar beramai-ramai untuk shalat istisqa di luar daerah dengan doa dan memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim kemaran dan kekeringan melanda hukumnya adalah sunnah, yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tanpa ada perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal ini”4
Penyebab Terjadinya Kekeringan
Sebab terjadinya kekeringan yang berkepanjangan, bencana alam serta musibah-musibah lain secara umum adalah maksiat. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syuraa: 30)
Selain merebaknya maksiat secara umum, banyaknya orang yang enggan membayar zakat serta banyak kecurangan dalam jual beli, menjadi penyebab khusus atas terjadinya kekeringan dan masa-masa sulit. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يا معشر المهاجرين: خمس إذا ابتليتم بهن وأعوذ بالله أن تدركوهن: لم تظهر الفاحشة في قوم قطُّ حتى يعلنوا بها إلاَّ فشا فيهم الطاعونُ والأوجاعُ التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مَضَوا.ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أُخذوا بالسنين وشدة المؤونة وجَوْر السلطان عليهم. ولم يَمْنعوا زكاة أموالهم إلا مُنعوا القطرَ من السماء، ولولا البهائمُ لم يُمطروا. ولم ينقضوا عهد الله وعهد رسوله إلا سلّط الله عليهم عدوًّا من غيرهم فأخذوا بعض ما في أيديهم. وما لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم
“Wahai sekalian kaum muhajirin, kalian akan diuji dengan lima perkara dan aku memohon perlindungan Allah agar kalian tidak ditimpa hal-hal tersebut.
-
Ketika perbuatan keji merajalela di tengah-tengah kaum hingga mereka berani terang-terangan melakukannya, akan menyebar penyakit menular dan kelaparan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
-
Ketika orang-orang gemar mencurangi timbangan, akan ada tahun-tahun yang menjadi masa sulit bagi kaum muslimin dan penguasa berbuat jahat kepada mereka
-
Ketika orang-orang enggan membayar zakat, air hujan akan ditahan dari langit. Andaikata bukan karena hewan-hewan ternak, niscaya hujan tidak akan pernah turun.
-
Ketika orang-orang mengingkari janji terhadap Allah dan Rasul-Nya, Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka berkuasa atas mereka, kemudian mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka,
- Ketika para penguasa tidak berhukum dengan Kitab Allah dan mereka memilih selain dari apa yang diturunkan oleh Allah, Allah akan menjadikan kehancuran mereka dari diri mereka sendiri”
(HR. Ibnu Maajah no.3262. Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)
Sebagai perenungan akan masalah ini, silakan simak artikel Akibat Perbuatan Maksiat.
Beberapa Jenis Istisqa Kepada Allah
Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang ditetapkan oleh syari’at, dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Pertama, shalat istisqa secara berjama’ah ataupun sendirian5.
Kedua, imam shalat Jum’at memohon kepada Allah agar diturunkan hujan dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma’ bahwa hal ini disunnahkan senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu6. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana diceritakan sahabat Anas Bin Malik Radhiallahu’anhu:
أن رجلا دخل المسجد يوم الجمعة ، من باب كان نحو دار القضاء ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم قائم يخطب ، فاستقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم قائما ، ثم قال : يا رسول الله ، هلكت الأموال وانقطعت السبل ، فادع الله يغثنا . فرفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه ، ثم قال :اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا . قال أنس : ولا والله ، ما نرى في السماء من سحاب ، ولا قزعة ، وما بيننا وبين سلع من بيت ولا دار . قال : فطلعت من ورائه سحابة مثل الترس ، فلما توسطت السماء انتشرت ثم أمطرت . فلا والله ما رأينا الشمس ستا
“Seorang lelaku memasuki masjid pada hari jum’at melalui pintu yang searah dengan daarul qadha. Ketika itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang berkhutbah dengan posisi berdiri. Lelaki tadi berkata: ‘Wahai Rasulullah, harta-harta telah binasa dan jalan-jalan terputus (banyak orang kelaparan dan kehausan). Mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan!’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan: Allahumma aghitsna (3x). Anas berkata: ‘Demi Allah, sebelum itu kami tidak melihat sedikitpun awan tebal maupun yang tipis. Awan-awan juga tidak ada di antara tempat kami, di bukit, rumah-rumah atau satu bangunan pun”. Anas berkata, “Tapi tiba-tiba dari bukit tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan pun menyebar dan hujan pun turun”. Anas melanjutkan, “Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari’” (HR. Bukhari no.1014, Muslim no.897)
Ketiga, berdoa setelah shalat atau berdoa sendirian tanpa didahului shalat. Para ulama ber-’ijma akan bolehnya hal ini7.
Tempat Shalat Istisqa
Shalat istisqa lebih utama dilakukan di lapangan, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha disebutkan:
فأمر بمنبر فوضع له في المصلى
“Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang”
Juga dalam hadits Abdullah bin Zaid Al Mazini:
أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى المصلى ، فاستسقى فاستقبل القبلة ، وقلب رداءه ، وصلى ركعتين
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat” (HR. Bukhari no. 1024)
Namun boleh melakukannya di masjid, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani8 :
قوله : ( باب الاستسقاء في المسجد الجامع ) أشار بهذه الترجمة إلى أن الخروج إلى المصلى ليس بشرط في الاستسقاء
“Perkataan Imam Al Bukhari: ‘Bab Shalat Istisqa di Masjid Jami‘, menunjukkan tafsiran beliau bahwa keluar menuju lapangan bukanlah syarat sah shalat istisqa”
Waktu Pelaksanaan Shalat Istisqa
Shalat istisqa tidak memiliki waktu khusus namun terlarang dikerjakan di waktu-waktu terlarang untuk shalat9. Akan tetapi yang lebih utama adalah sebagaimana waktu pelaksanaan shalat ‘Id, yaitu ketika matahari mulai terlihat. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha disebutkan:
فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بدا حاجب الشمس
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat”
Tata Cara Shalat Istisqa
Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara shalat istisqa. Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama, tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat ‘Id. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج متبذلا متواضعا متضرعا حتى أتى المصلى فلم يخطب خطبتكم هذه ، ولكن لم يزل في الدعاء ، والتضرع ، والتكبير ، وصلى ركعتين كما كان يصلي في العيد
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati hingga tiba di tempat shalat. Lalu beliau berkhutbah tidak sebagaimana biasanya, melainkan beliau tidak henti-hentinya berdoa, merendah, bertakbir dan melaksanakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melakukan shalat ‘Id” (HR. Tirmidzi no.558, ia berkata: “Hadits hasan shahih”)
Tata caranya sama dengan shalat ‘Id dalam jumlah rakaat, tempat pelaksanaan, jumlah takbir, jahr dalam bacaan dan bolehnya khutbah setelah shalat10. Ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya Sa’id bin Musayyab, ‘Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, dan Imam Asy Syafi’i.
Hanya saja berbeda dengan shalat ‘Id dalam beberapa hal:
-
Hukum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Namun shalat istisqa berbeda dengan shalat ‘Id dalam hal hukum shalat Istisqa adalah sunnah, sedangkan shalat ‘Id adalah fardhu kifayah”. Sebagian ulama muhaqqiqin juga menguatkan hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain11.
-
Waktu pelaksanaan. Sebagaimana telah dijelaskan.
Mengenai tata cara shalat ‘Id secara rinci silakan baca kembali artikel: Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha
Pendapat kedua, tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan takbir. Hal ini didasari hadits dari Abdullah bin Zaid:
خرج النبي - صلى الله عليه وسلم - إلى المصلى فاستقبل القبلة وحول رداءه، وصلى ركعتين
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat” (HR. Bukhari no.1024, Muslim no.894).
Zhahir hadits ini menunjukkan shalat istisqa sebagaimana shalat sunnah biasa, tidak adanya takbir tambahan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Al Auza’i, Abu Tsaur, dan Ishaq bin Rahawaih.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini beliau mengatakan12 : “Mengerjakan yang mana saja dari dua cara ini adalah boleh dan baik”.
[Bersambung, insya Allah]
—
1 Lisaanul ‘Arab, 14/393
2 Syarhul Mumthi’, 5/361
3 Al Mughni, 3/334
4 At Tamhid, 17/172
5 Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504
6 Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504
7 Lihat Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi 6/439, Al Inshaf 5/436, Al Mughni 3/348
8 Fathul Baari, 1/582
9 Al Mughni, 3/327 – 328
10 Al Mughni 3/335, Hasyiah Ibnu Qasim Ala Ar Radhil Murbi’ 2/541, Asy Syarhul Kabir Lil Inshaf 5/411
11 Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183
12 Al Mughni, 3/335 – 337
Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.
–
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id