Monday, June 6, 2011

Lomba Penulisan Naskah Kultum Ramadhan Tingkat Nasional (1-19 Juni 2011)

Ikutilah..

Lomba Penulisan Naskah Kultum Ramadhan Tingkat Nasional

TEMA DAN KATEGORI

Tema : Menggapai Surga di Bulan Mulia

Kategori penulisan : akidah, tafsir, hadits, fiqih, akhlaq (pilih salah satu)

Terbuka untuk muslim dan muslimah

PENGIRIMAN NASKAH DAN PENGUMUMAN PEMENANG

1. Pengiriman Naskah: Peserta diharuskan mengirim naskah dalam bentuk email dan surat

a. Naskah dikirim melalui email ypiapeduli@yahoo.com paling lambat diterima panitia tanggal 19 Juni 2011, DAN

b. Naskah dikirim ke alamat sekertariat: Wisma MTI Pogung Kidul No. 8C RT 01 RW 49 SIA XVI Kel. Sinduadi, Kec. Mlati, Kab. Sleman, DIY KOde pos: 55284 paling lambat 19 Juni 2011 (cap pos)

2. Peserta diharuskan menyertakan identitas berupa fotocopy KTP atau kartu identitas lainnya disertakan saat pengiriman naskah melalui surat

3. Peserta dilarang menuliskan identitas pada halaman naskah

4. Peserta diharuskan mengirimkan bersama naskah surat pernyataan keaslian naskah

5. Naskah yang sudah dikirim sepenuhnya menjadi milik panitia

6. Pemenang akan diumumkan melalui website www.muslim.or.id;www.muslimah.or.id; www.ypia.or.id; www.radiomuslim.com mulai 26 Juni 2011.

Biaya Pendaftaran

Rp 10.000,- dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim bersama dengan naskah

KRITERIA TULISAN

1. Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta mudah dipahami

2. Panjang naskah minimal 3 halaman maksimal 4 halaman A4 Times New Roman 12, spasi 1,5

3. Dalil (Al Qur’an dan Hadits) dituliskan dalam teks bahasa Arab

4. Naskah adalah naskah asli buatan sendiri dan tidak pernah dipublikasikan pada media-media apapun sebelumnya

5. Sesuai dengan tema

HADIAH

Hadiah utama: diberikan kepada satu tulisan terbaik untuk masing-masing kategori dengan hadiah senilai Rp 1.000.000,-

Hadiah hiburan: diberikan kepada lima tulisan terpilih untuk masing-masing kategori

INFORMASI DAN KONTAK PERSON

Nomor HP : 0857 2942 8241

Acara Ini Diselenggarakan Oleh

Divisi Khutbah Jumat dan Kultum

Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari Yogyakar

Sosok Teladan dalam Kebaikan

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.

Kita mungkin pernah mendengar istilah ‘multi-talenta’. Ya, orang yang digelari dengan istilah ini artinya orang tersebut memiliki bakat dan keahlian yang beraneka-ragam, bukan satu keahlian saja. Bicara soal bakat, mungkin masing-masing orang memang berlainan. Namun, jika berbicara soal amal kebaikan, tidak selayaknya seorang muslim menyia-nyiakan berbagai pintu kebaikan yang dibukakan untuknya. Karena dengan memanfaatkan berbagai pintu kebaikan yang ada, maka seorang hamba akan bisa meraih keutamaan yang sangat agung di akherat kelak, yaitu dipanggil masuk surga dari semua pintu surga… Sungguh, sebuah harapan yang sangat mulia!

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan di dalam Shahih mereka berdua hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menginfakkan ‘sepasang hartanya’ di jalan Allah maka dia akan dipanggil -oleh malaikat- dari pintu-pintu surga, ‘Wahai hamba Allah! Inilah kebaikan -yang akan kamu peroleh-.’ Barangsiapa yang tergolong ahli sholat, maka dia akan dipanggil dari pintu sholat. Barangsiapa yang tergolong ahli jihad, maka dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa yang tergolong ahli sedekah, maka dia akan dipanggil dari pintu sedekah. Barangsiapa yang tergolong ahli puasa, maka dia akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai Rasulullah, bahaya apa lagi yang perlu dikhawatirkan oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu. Lantas, apakah ada orang yang dipanggil dari kesemua pintu itu?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ada. Dan aku berharap semoga kamu termasuk di dalamnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di beberapa tempat; [1] Kitab ash-Shaum [hadits no. 1897], [2] Kitab al-Jihad wa as-Siyar [hadits no. 2841], [3] Kitab Bad’u al-Khalq [hadits no. 3216], [4] Kitab Fadhail ash-Shahabah [hadits no. 3666], dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim di Kitab az-Zakah [hadits no. 1027], lihat Fath al-Bari [4/132] dan Syarh Shahih Muslim [4/351])

Makna ‘Sepasang Harta’

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang harta’ di dalam hadits di atas adalah dua buah harta yang serupa dari jenis apa saja (Fath al-Bari [4/132]). an-Nawawi rahimahullah menukil keterangan al-Harawi, bahwa tafsiran dari sepasang harta itu misalnya; dua ekor kuda, dua orang budak, atau dua ekor unta (lihat Syarh Shahih Muslim [4/351]).

Ibnu Baththal rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang harta’ adalah dua buah [harta benda], seperti misalnya dua keping dinar, dua helai pakaian, dan semacamnya (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [4/15]). Lalu, apa maksudnya? an-Nawawi rahimahullah menyimpulkan bahwa ungkapan ‘sepasang harta’ ini menunjukkan keutamaan bersedekah dan membelanjakan harta untuk ketaatan serta [kita] dianjurkan untuk memperbanyak hal itu (lihat Syarh Shahih Muslim [4/352]). Dengan kata lain, apabila kita bersedekah maka jangan pelit-pelit…

Pintu ar-Rayyan Bagi Ahli Shaum

Hadits ini menunjukkan salah satu keutamaan ibadah puasa, yaitu bahwasanya orang-orang yang tekun mengerjakan ibadah yang agung ini kelak di akherat akan dipanggil untuk masuk surga melalui pintu ar-Rayyan. Oleh sebab itu, Imam Bukhari rahimahullah memasukkan hadits ini dalam Kitab ash-Shaum dengan judul bab ‘ar-Rayyan bagi orang-orang yang berpuasa’ (lihat Fath al-Bari [4/131]).

Selain hadits di atas, di dalam bab tersebut Imam Bukhari juga membawakan hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu, yang disebut dengan ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk [surga] dari pintu itu pada hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang memasuki pintu itu selain mereka. Akan ada panggilan, ‘Dimanakah orang-orang yang berpuasa?’. Maka mereka pun berdiri. Tidak ada yang melewatinya selain mereka. Apabila mereka telah masuk [semua] maka pintu itu akan ditutup sehingga tidak ada lagi seorang pun yang melewatinya.” (HR. Bukhari di Kitab ash-Shaum [hadits no. 1896] dan di Kitab Bad’u al-Khalq [hadits no. 3257], dan Muslim di Kitab ash-Shiyam [hadits no. 1152], lihat Fath al-Bari [4/131] dan Syarh Shahih Muslim [4/485])

Keutamaan Infaq fi Sabilillah

Hadits ini juga menunjukkan keutamaan yang besar pada amalan infaq -membelanjakan harta- fi sabilillah. Yang dimaksud dengan fi sabilillah di sini tidak terbatas pada jihad saja. Berdasarkan riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad yang artinya, “Bagi setiap ahli amalan akan dipanggil dari pintu amalan tersebut.” maka al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah lebih luas daripada jihad dan amal-amal salih lainnya.” (Fath al-Bari [6/57]). Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud fi sabilillah di sini mencakup seluruh perkara kebaikan, sebagaimana dinukil oleh an-Nawawi (lihat Syarh Shahih Muslim [4/352]). Meskipun, kata-kata fi sabilillah jika disebutkan tanpa kaitan maka secara umum maksudnya adalah jihad sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah (lihat Fath al-Bari [6/55])

Walaupun, tentu saja membelanjakan harta demi keperluan jihad fi sabilillah merupakan amalan yang juga sangat utama. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mempersiapkan perbekalan untuk seorang pasukan fi sabilillah maka sesungguhnya dia telah ikut berperang. Dan barangsiapa yang membantu sanak kerabatnya yang ditinggal perang maka sesungguhnya dia juga telah ikut berperang.” (HR. Bukhari di Kitab al-Jihad wa as-Siyar [hadits no. 2843] dan Muslim di Kitab al-Imarah [hadits no. 1895], lihat Fath al-Bari [6/58] dan Syarh Shahih Muslim [6/522])

Ada sebuah pelajaran menarik dari hadits ini. an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung dorongan untuk berbuat baik/ihsan kepada orang-orang yang menunaikan tugas-tugas kemaslahatan bagi kaum muslimin atau orang-orang yang menegakkan urusan-urusan penting bagi mereka/kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim [6/522]). Hal jazaa’ul ihsan illal ihsan…

Keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu

Hadits ini menunjukkan keutamaan yang ada pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang beliau, “Aku berharap semoga kamu termasuk di dalamnya.” Yaitu golongan orang-orang yang dipanggil dari semua pintu surga. Hal itu karena harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama (lihat Fath al-Bari [7/31] dan Syarh Shahih Muslim [4/353]).

Perlu diperhatikan pula di sini, bahwa yang dimaksud dengan ahli shaum, ahli sholat, ahli sedekah, maupun ahli jihad -yang layak untuk dipanggil dari semua pintu surga itu- bukanlah orang yang semata-mata telah menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut. Namun, yang dimaksud adalah orang-orang yang selain menunaikan yang wajib-wajib maka ia juga melakukan amal-amal yang sunnah dan konsisten dalam melaksanakannya. Abdul Wahid berkata: Seandainya ada yang bertanya, “Apakah tergolong di dalamnya orang yang [sekedar] menunaikan puasa Ramadhan, menzakati hartanya, dan melaksanakan sholat-sholat wajibnya?”. Jawabnya adalah: Bahwa yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah ibadah-ibadah sunnah yang dilakukan secara terus-menerus dan diusahakan untuk diperbanyak. Itulah orang yang layak untuk dipanggil dari pintu-pintu surga (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [4/18], lihat juga Fath al-Bari [7/30])

Hadits ini juga mengandung pelajaran bolehnya memuji seseorang di hadapannya selama tidak dikhawatirkan orang tersebut terjerumus dalam fitnah/dosa seperti ujub dan semacamnya (lihat Syarh Shahih Muslim [4/353]). Namun, perlu kita ingat bahwa orang seperti Abu Bakar -dalam hal ilmu maupun amalan- adalah sosok yang sangat jarang ditemukan… Bahkan, di masa para sahabat sekalipun…!

Dalam hal amalan, beliau adalah sosok yang sangat unggul dibandingkan yang lainnya. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam hadits pintu ar-Rayyan di atas; tatkala beliau menjadi orang yang dipanggil masuk surga dari semua pintu amalan. Selain itu, juga sebagaimana tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah memberi makan orang miskin?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu kembali menjawab, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah itu semua terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim di Kitab az-Zakah dan Kitab Fadha’il ash-Shahabah [hadits no. 1028], lihat Syarh Shahih Muslim [4/353] dan [8/12])

Begitu pula dalam hal ilmu, beliau adalah orang yang paling alim di antara para sahabat. Hal itu sebagaimana tergambar dengan jelas dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk berceramah di atas mimbar. Beliau mengatakan, “Seorang hamba yang telah diberikan pilihan oleh Allah untuk mendapatkan segala perhiasan dunia ataukah apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut lebih memilih apa yang ada di sisi-Nya.” Abu Bakar pun menangis dan menangis. Lalu dia berkata, “Kami rela untuk menebus anda dengan bapak-bapak dan anak-anak kami (ya Rasulullah).” Dia -Abu Bakar- berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah hamba yang diberi pilihan tersebut.” Ternyata Abu Bakar adalah orang yang paling berilmu di antara kami tentangnya… (HR. Bukhari di beberapa tempat; [1] di Kitab ash-Shalah [hadits no. 466], [2] di Kitab Fadha’il ash-Shahabah [hadits no. 3654], [3] di Kitab Manaqib al-Anshar [hadits no. 3904] dan Muslim di Kitab Fadha’il ash-Shahabah [hadits no. 2382], lihat Syarh Shahih Muslim [8/7])

Jadilah Kunci Kebaikan!

Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya, begitu pula Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada di antara manusia, orang-orang yang menjadi kunci-kunci kebaikan, penutup-penutup keburukan. Dan ada juga sebagian orang yang menjadi kunci-kunci keburukan, penutup-penutup kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan, dan sungguh celakalah orang yang Allah jadikan dia sebagai pembuka pintu keburukan.” (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah [1332], diambil dari ‘Kaifa Takunu Miftahan Lil Khair’, karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah, hal. 5). Semoga Allah menjadikan kita… sebagai kunci kebaikan…! Amin ya Mujiibas saa’iliin

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Adakah Anjuran Puasa di Bulan Rajab?

Ada faedah berharga dari Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amalan di bulan Rajab termasuk berpuasa ketika itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

أَمَّا تَخْصِيصُ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ جَمِيعًا بِالصَّوْمِ أَوْ الِاعْتِكَافِ فَلَمْ يَرِدْ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ . وَلَا أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ قَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ . أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ إلَى شَعْبَانَ وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ مِنْ أَجْلِ شَهْرِ رَمَضَانَ . وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ بَلْ مَوْضُوعَةٌ لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ

”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Hadits-haditsnya bukanlah hadits yang memotivasi beramal (fadhilah amal), bahkan kebanyakannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

So …. tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.

Jika memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, puasa Daud, atau puasa ayyamul biid, maka tetap rutinkanlah di bulan Rajab. Bahkan bulan Ramadhan semakin dekat, maka segeralah qodho puasa Ramadhan yang ada jika memang masih ada utang puasa. Semoga Allah beri taufik untuk tetap beramal sholih.

Lihat artikel lainnya tentang “Amalan di Bulan Rajab” di web ini: klik di sini.

Riyadh-KSA, 29 Jumadats Tsaniyyah 1432 H (01/06/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Orang yang Paling Kaya

Siapakah orang yang paling kaya di dunia saat ini?

“Yang punya perusahaan Microsoft; Bill Gates!” Mungkin inilah jawaban yang terlontar, andaikan salah seorang dari kita dihadapkan pada pertanyaan di atas. Atau bisa jadi jawabannya, “Pemain bola anu!” atau “Artis itu!”

Berbagai jawaban di atas barangkali akan sangat dianggap wajar karena barometer kekayaan di benak kebanyakan orang saat ini diukur dengan kekayaan harta duniawi. Padahal, jika menggunakan barometer syariat, bukan merupakan hal yang mustahil bahwa kita pun amat berpeluang untuk menjadi kandidat orang paling “kaya”!

Orang paling kaya di mata syariat

Orang paling kaya, jika diukur dengan timbangan syariat, adalah: orang yang paling nrimo.

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kekayaan tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim; dari Abu Hurairah)

Kaya hati, atau sering diistilahkan dengan “qana’ah“, artinya adalah ‘nrimo (menerima) dan rela dengan berapa pun yang diberikan oleh Allah Ta’ala.

Berapa pun rezeki yang didapatkan, dia tidak mengeluh. Mendapat rezeki banyak, bersyukur; mendapat rezeki sedikit, bersabar dan tidak mengumpat.

Andaikan kita telah bisa mengamalkan hal di atas, saat itulah kita bisa memiliki kans besar untuk menjadi orang terkaya di dunia. Ujung-ujungnya, keberuntunganlah yang menanti kita, sebagaimana janji Sang Musthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Beruntunglah orang yang berislam, dikaruniai rezeki yang cukup, dan dia dijadikan menerima apa pun yang dikaruniakan Allah (kepadanya).” (HR. Muslim; dari Abdullah bin ‘Amr)

Berdasarkan barometer di atas, bisa jadi orang yang berpenghasilan dua puluh ribu sehari dikategorikan orang kaya, sedangkan orang yang berpenghasilan dua puluh juta sehari dikategorikan orang miskin. Pasalnya, orang pertama merasa cukup dengan uang sedikit yang didapatkannya. Adapun orang kedua, dia terus merasa kurang walaupun uang yang didapatkannya sangat banyak.

Bagaimana mungkin orang yang berpenghasilan dua puluh ribu dianggap berkecukupan, padahal ia harus menafkahi istri dan anak-anaknya?

Ya, selain karena keberkahan yang Allah limpahkan dalam hartanya, juga karena ukuran kecukupan menurut Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Kiat membangun pribadi yang qana’ah

Di antara resep sukses membentuk jiwa yang qana’ah adalah dengan melatih diri untuk menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di tangan Allah dan yang kita dapatkan telah dicatat oleh Allah Ta’ala, serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.

Allah Ta’ala mengingatkan,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin rezekinya oleh Allah.” (QS. Hud:6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوْتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ، فَلاَ تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، وَاتَّقُوا اللهَ أَيُّهَا النَّاس، وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ، خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ

Sesungguhnya, seseorang di antara kalian tidak akan mati kecuali setelah dia mendapatkan seluruh rezeki (yang Allah takdirkan untuknya) secara sempurna. Maka, janganlah kalian bersikap tidak sabaran dalam menanti rezeki. Bertakwalah kepada Allah, wahai manusia! Carilah rezeki secara proporsional, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Al-Hakim; dari Jabir; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Buah manis qana’ah

Sebagai suatu karakter yang terpuji, qana’ah tentunya menumbuhkan sifat-sifat positif lainnya, yang tidak lain adalah buah dari qana’ah itu sendiri. Di antaranya:

Pertama: Qana’ah menjadikan seseorang tidak mudah tergiur untuk memiliki harta yang dimiliki orang lain.

Dia merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya, sehingga dia selalu hidup dalam ketenteraman dan kedamaian batin. Dia tidak pernah iri maupun dengki dengan kelebihan nikmat yang Allah limpahkan pada orang lain.

Karakter istimewa inilah yang Allah rekam sebagai salah satu perangai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Dia menceritakan kondisi mereka yang fakir,

يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً

(Orang lain)–yang tidak tahu–menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad), mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain.” (QS. Al-Baqarah:273)

Kedua: Qana’ah menempa jiwa seseorang untuk tidak mengadu tentang kesusahan hidupnya melainkan hanya kepada Allah Yang Mahakaya.

Inilah salah satu tingkatan tawakal tertinggi, yang telah dicapai oleh para nabiyullah. Sebagaimana yang Allah ceritakan tentang Nabi Ya’kub ‘alaihis salam,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ

Dia (Ya’kub) berkata, ‘Hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf:86)

Mengapa para kekasih Allah hanya mengadu kepada-Nya? Karena keyakinan mereka yang begitu mendalam bahwa dunia seisinya tidak lain hanyalah kepunyaan Allah. Lantas mengapa tidak meminta saja kepada Yang Maha Memiliki segalanya, dan kenapa harus meminta kepada zat yang apa yang dimilikinya tidak lain hanyalah bersumber dari Yang Maha Memiliki?

Namun, realita berkata lain. Rata-rata, kita masih lebih suka mengetuk pintu para makhluk sebelum mengetuk pintu Sang Khalik. Karena itulah, para ulama mengingatkan, “Siapakah di antara kita yang meminta kebutuhannya kepada Allah sebelum ia memintanya kepada manusia?”

Qana’ah berarti tidak bekerja dan ikhtiar?

Janganlah dipahami dari seluruh keterangan di atas, bahwa kita tidak perlu bekerja dengan alasan qana’ah. Sehingga, cukup duduk berpangku-tangan di rumah, dengan dalih: kalaupun sudah saatnya hujan emas, niscaya akan turun juga!

Qana’ah tidaklah seperti itu, karena qana’ah maksudnya: seorang hamba bekerja semampunya dengan tetap memperhatikan rambu-rambu syariat. Setelah itu, berapa pun hasil yang didapatkan dari kerjanya, diterimanya dengan penuh rasa ridha tanpa menggerutu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hakikat tawakal dan korelasinya dengan ikhtiar, dalam sebuah perumpamaan yang sangat detail,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Andaikan kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya kalian akan mendapatkan rezeki sebagaimana burung memperoleh rezeki. Dia pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong, lalu pulang di sore harinya dalam keadaan perut kenyang.” (HR. Tirmidzi, dan beliau berkomentar bahwa hadis ini hasan sahih)

Ya, tentunya supaya burung bisa memenuhi perutnya, ia harus “mencari nafkah”! Dan inilah tawakal yang sebenar-benarnya; berikhtiar lalu hasilnya serahkan pada Allah ta’ala.

Wallahu a’la wa a’lam…

Kedungwuluh, Purbalingga, 7 Ramadhan 1430/28 Agustus 2009

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Artikel www.tunasilmu.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id

Posted: 03 Jun 2011 05:00 PM PDT

Siapakah orang yang paling kaya di dunia saat ini?

“Yang punya perusahaan Microsoft; Bill Gates!” Mungkin inilah jawaban yang terlontar, andaikan salah seorang dari kita dihadapkan pada pertanyaan di atas. Atau bisa jadi jawabannya, “Pemain bola anu!” atau “Artis itu!”

Berbagai jawaban di atas barangkali akan sangat dianggap wajar karena barometer kekayaan di benak kebanyakan orang saat ini diukur dengan kekayaan harta duniawi. Padahal, jika menggunakan barometer syariat, bukan merupakan hal yang mustahil bahwa kita pun amat berpeluang untuk menjadi kandidat orang paling “kaya”!

Orang paling kaya di mata syariat

Orang paling kaya, jika diukur dengan timbangan syariat, adalah: orang yang paling nrimo.

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kekayaan tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim; dari Abu Hurairah)

Kaya hati, atau sering diistilahkan dengan “qana’ah“, artinya adalah ‘nrimo (menerima) dan rela dengan berapa pun yang diberikan oleh Allah Ta’ala.

Berapa pun rezeki yang didapatkan, dia tidak mengeluh. Mendapat rezeki banyak, bersyukur; mendapat rezeki sedikit, bersabar dan tidak mengumpat.

Andaikan kita telah bisa mengamalkan hal di atas, saat itulah kita bisa memiliki kans besar untuk menjadi orang terkaya di dunia. Ujung-ujungnya, keberuntunganlah yang menanti kita, sebagaimana janji Sang Musthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Beruntunglah orang yang berislam, dikaruniai rezeki yang cukup, dan dia dijadikan menerima apa pun yang dikaruniakan Allah (kepadanya).” (HR. Muslim; dari Abdullah bin ‘Amr)

Berdasarkan barometer di atas, bisa jadi orang yang berpenghasilan dua puluh ribu sehari dikategorikan orang kaya, sedangkan orang yang berpenghasilan dua puluh juta sehari dikategorikan orang miskin. Pasalnya, orang pertama merasa cukup dengan uang sedikit yang didapatkannya. Adapun orang kedua, dia terus merasa kurang walaupun uang yang didapatkannya sangat banyak.

Bagaimana mungkin orang yang berpenghasilan dua puluh ribu dianggap berkecukupan, padahal ia harus menafkahi istri dan anak-anaknya?

Ya, selain karena keberkahan yang Allah limpahkan dalam hartanya, juga karena ukuran kecukupan menurut Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Kiat membangun pribadi yang qana’ah

Di antara resep sukses membentuk jiwa yang qana’ah adalah dengan melatih diri untuk menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di tangan Allah dan yang kita dapatkan telah dicatat oleh Allah Ta’ala, serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.

Allah Ta’ala mengingatkan,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin rezekinya oleh Allah.” (QS. Hud:6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوْتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ، فَلاَ تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، وَاتَّقُوا اللهَ أَيُّهَا النَّاس، وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ، خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ

Sesungguhnya, seseorang di antara kalian tidak akan mati kecuali setelah dia mendapatkan seluruh rezeki (yang Allah takdirkan untuknya) secara sempurna. Maka, janganlah kalian bersikap tidak sabaran dalam menanti rezeki. Bertakwalah kepada Allah, wahai manusia! Carilah rezeki secara proporsional, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Al-Hakim; dari Jabir; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Buah manis qana’ah

Sebagai suatu karakter yang terpuji, qana’ah tentunya menumbuhkan sifat-sifat positif lainnya, yang tidak lain adalah buah dari qana’ah itu sendiri. Di antaranya:

Pertama: Qana’ah menjadikan seseorang tidak mudah tergiur untuk memiliki harta yang dimiliki orang lain.

Dia merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya, sehingga dia selalu hidup dalam ketenteraman dan kedamaian batin. Dia tidak pernah iri maupun dengki dengan kelebihan nikmat yang Allah limpahkan pada orang lain.

Karakter istimewa inilah yang Allah rekam sebagai salah satu perangai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Dia menceritakan kondisi mereka yang fakir,

يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً

(Orang lain)–yang tidak tahu–menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad), mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain.” (QS. Al-Baqarah:273)

Kedua: Qana’ah menempa jiwa seseorang untuk tidak mengadu tentang kesusahan hidupnya melainkan hanya kepada Allah Yang Mahakaya.

Inilah salah satu tingkatan tawakal tertinggi, yang telah dicapai oleh para nabiyullah. Sebagaimana yang Allah ceritakan tentang Nabi Ya’kub ‘alaihis salam,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ

Dia (Ya’kub) berkata, ‘Hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf:86)

Mengapa para kekasih Allah hanya mengadu kepada-Nya? Karena keyakinan mereka yang begitu mendalam bahwa dunia seisinya tidak lain hanyalah kepunyaan Allah. Lantas mengapa tidak meminta saja kepada Yang Maha Memiliki segalanya, dan kenapa harus meminta kepada zat yang apa yang dimilikinya tidak lain hanyalah bersumber dari Yang Maha Memiliki?

Namun, realita berkata lain. Rata-rata, kita masih lebih suka mengetuk pintu para makhluk sebelum mengetuk pintu Sang Khalik. Karena itulah, para ulama mengingatkan, “Siapakah di antara kita yang meminta kebutuhannya kepada Allah sebelum ia memintanya kepada manusia?”

Qana’ah berarti tidak bekerja dan ikhtiar?

Janganlah dipahami dari seluruh keterangan di atas, bahwa kita tidak perlu bekerja dengan alasan qana’ah. Sehingga, cukup duduk berpangku-tangan di rumah, dengan dalih: kalaupun sudah saatnya hujan emas, niscaya akan turun juga!

Qana’ah tidaklah seperti itu, karena qana’ah maksudnya: seorang hamba bekerja semampunya dengan tetap memperhatikan rambu-rambu syariat. Setelah itu, berapa pun hasil yang didapatkan dari kerjanya, diterimanya dengan penuh rasa ridha tanpa menggerutu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hakikat tawakal dan korelasinya dengan ikhtiar, dalam sebuah perumpamaan yang sangat detail,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Andaikan kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya kalian akan mendapatkan rezeki sebagaimana burung memperoleh rezeki. Dia pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong, lalu pulang di sore harinya dalam keadaan perut kenyang.” (HR. Tirmidzi, dan beliau berkomentar bahwa hadis ini hasan sahih)

Ya, tentunya supaya burung bisa memenuhi perutnya, ia harus “mencari nafkah”! Dan inilah tawakal yang sebenar-benarnya; berikhtiar lalu hasilnya serahkan pada Allah ta’ala.

Wallahu a’la wa a’lam…

Kedungwuluh, Purbalingga, 7 Ramadhan 1430/28 Agustus 2009

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Artikel www.tunasilmu.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id

Nasehat Bagi Si Sakit

Mush’ab bin Sa’d menuturkan: Abdullah bin Umar -radhiyallahu’anhu- menemui Ibnu Amir -seorang Gubernur Bashrah-, beliau datang untuk menjenguknya yang sedang menderita sakit. Maka Ibnu Amir pun berkata, “Tidakkah engkau mendoakan kebaikan untukku kepada Allah, wahai Ibnu Umar?”. Ibnu Umar menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak diterima sholat tanpa bersuci demikian juga sedekah dari harta rampasan (baca: hasil korupsi).’ sedangkan engkau sekarang ini menjadi penguasa Bashrah.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [3/8-9])

Hadits yang agung ini mengandung pelajaran di antaranya:

  1. Wajib berada dalam keadaan suci untuk sahnya sholat. Bahkan, umat Islam telah sepakat bahwa thaharah (suci) merupakan syarat sah sholat (lihat Syarh Muslim [3/8])
  2. Sahabat Ibnu Umar bermaksud menasehati seorang gubernur Bashrah -di saat dia terbaring sakit- agar bertaubat dari penyimpangan yang dilakukannya dengan menyampaikan hadits ini. Namun, hal itu bukanlah berarti bahwa doa yang dipanjatkan untuk kebaikan orang fasik adalah doa yang tidak mungkin dikabulkan (lihat Syarh Muslim [3/8])
  3. Hendaknya menjenguk orang yang sakit dan menyampaikan sesuatu yang bermanfaat bagi kebaikan dirinya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma
  4. Teladan yang menunjukkan bahwa seorang ulama boleh menemui penguasa dalam rangka menasehatinya, dan hal itu bukanlah perkara yang tercela atau dinilai sebagai perbuatan menjilat penguasa
  5. Kasih sayang kepada sesama muslim -terlebih lagi kepada penguasa mereka- yang diwujudkan dalam bentuk nasehat -menginginkan kebaikan- bagi mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?”. Maka beliau menjawab, “Untuk -kesucian- Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, dan untuk kebaikan para pemimpin kaum muslimin serta rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim ad-Dari, lihat Syarh Muslim [2/116]). Di antara bentuk nasehat itu adalah sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar. Secara fisik, beliau menjenguknya ketika menderita sakit. Adapun secara ma’nawi, maka beliau pun menasehatinya dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, sebuah teladan yang demikian mengagumkan…
  6. Memberikan nasehat hendaknya menggunakan kata-kata yang tepat. Di antara kata-kata yang paling baik digunakan untuk menyampaikan nasehat adalah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  7. Hadits ini menunjukkan betapa besar pengagungan generasi salaf terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hadits itulah yang menjadi syi’ar kehidupan mereka sehingga dengan mudahnya hadits-hadits itu terlontar dalam percakapan di antara mereka
  8. Hendaknya seorang da’i memperhatikan kondisi mad’u -objek dakwah-nya. Apabila mereka membutuhkan bantuannya -sedangkan dia mampu- maka semestinya dia mengulurkan bantuan untuk mereka.
  9. Hadits ini menunjukkan bahwa semata-mata niat baik tidak bisa menjadikan amalan yang salah menjadi benar atau diterima. Orang yang dengan ikhlas ingin mengerjakan sholat tapi tidak suci, maka sholatnya tidak sah seikhlas apapun niatnya. Demikian juga orang yang bersedekah dengan ikhlas, maka sedekahnya tidak diterima jika hartanya berasal dari harta hasil rampasan (baca: hasil korupsi) seikhlas apapun niatnya. Islam tidak mengenal kaidah tujuan menghalalkan segala cara.
  10. Boleh meminta orang lain (yang salih) untuk mendoakan kebaikan untuk kepentingan pribadi, meskipun yang lebih utama adalah berdoa sendiri kepada Allah.
  11. Apa yang diinginkan seseorang belum tentu sesuatu yang terbaik baginya.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Dinginnya Neraka

Di antara yang menunjukkan akan dinginnya neraka adalah riwayat berikut. Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إذا كان يوم شديد البرد فإذا قال العبد : لا إله إلا الله ما أشد برد هذا اليوم : اللهم أجرني من زمهرير جهنم قال الله تعالى لجهنم : إن عبدا من عبادي استجار بي من زمهريرك و إني أشهدك أني قد أجرته قالوا ما زمهرير جهنم قال : بيت يلقى فيه الكفر فيتميز من شدة البرد

Jika hari begitu amat dingin, lalu seorang hamba mengucapkan ‘Laa ilaha illallah, maa asyaddu bardin hadzal yaum: Allahumma aajirni min zamharir jahannam’ (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah begitu dingin hari ini. Ya Allah, selamatkanlah aku dari dingin bekunya jahannam). Allah Ta’ala kemudian berfirman kepada jahannam, “Sesungguhnya di antara hamba-Ku, meminta perlindungan pada-Ku dari dingin bekumu, dan aku bersaksi padamu bahwa aku telah melindungi dari dingin tersebut.” Mereka berkata, “Apa itu zamharir jahannam?” Dia menjawab, “Itu adalah rumah yang orang kafir dilemparkan di dalamnya, lantas mereka terasing karena saking dinginnya.”[1]

Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اشْتَكَتِ النَّارُ إِلَى رَبِّهَا فَقَالَتْ يَا رَبِّ أَكَلَ بَعْضِى بَعْضًا. فَأَذِنَ لَهَا بِنَفَسَيْنِ نَفَسٍ فِى الشِّتَاءِ وَنَفَسٍ فِى الصَّيْفِ فَهُوَ أَشَدُّ مَا تَجِدُونَ مِنَ الْحَرِّ وَأَشَدُّ مَا تَجِدُونَ مِنَ الزَّمْهَرِيرِ

Neraka berkata; ‘Ya Rabbi, kami memakan satu sama lainnya, (maka izinkanlah kami untuk bernapas!)’ Maka Allah mengizinkan untuk bernapas dua kali, napas ketika musim dingin dan napas ketika musim panas. Hawa yang amat panas, itu adalah dari panasnya neraka. Hawa yang amat dingin, itu adalah dari dinginnya (dingin bekunya) neraka.”[3]

Lihatlah yang Terjadi pada Penduduk Neraka!

Dari Ka’ab, ia berkata, “Sesungguhnya di neraka terdapat dingin yaitu zamharir (dingin yang amat beku), yang ini bisa membuat kulit-kulit terlepas hingga mereka (yang berada di neraka) meminta pertolongan pada panasnya neraka.”

‘Abdul Malik bin ‘Umair berkata, “Telah sampai padaku bahwa penduduk neraka meminta pada penjaga neraka untuk keluar pada sisi neraka. Mereka pun keluar ke sisi, namun mereka disantap oleh zamharir atau dinginnya neraka. Hingga mereka pun akhirnya kembali ke neraka. Dan mereka menemukan dingin yang tadi mereka dapatkan.”[4]

Al Qur’an Membicarakan Tentang Dinginnya Neraka

Hal ini dapat kita lihat pada surat An Naba’, Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا (24) إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا (25) جَزَاءً وِفَاقًا (26)

Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan ghossaq, sebagai pambalasan yang setimpal.” (QS. An Naba’: 24-26).

Allah Ta’ala juga berfirman,

هَذَا فَلْيَذُوقُوهُ حَمِيمٌ وَغَسَّاقٌ

Inilah (azab neraka), biarlah mereka merasakannya, (minuman mereka) air yang sangat panas dan air yang sangat dingin (ghossaq).” (QS. Shaad: 57)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksud ghossaq adalah dingin beku dari neraka, dan seseorang seperti terpanggang dengannya.” Mujahid rahimahullah berkata, “Ghossaq adalah sesuatu yang tidak mampu seseorang sentuh karena begitu dinginnya.” Ada ulama pula yang mengatakan, “Ghossaq adalah dingin yang baunya begitu busuk”.[5]

Faedah

  1. Neraka bukan hanya panas, juga mengalami dingin (yang amat dingin).
  2. Hawa yang amat panas, itu adalah dari panasnya neraka. Hawa yang amat dingin, itu adalah dari dinginnya neraka.
  3. Cuaca yang amat panas dan dingin seharusnya mengingatkan kita akan neraka, sehingga kita pun seharusnya meminta perlindungan pada Allah dari siksanya yang begitu mengerikan.

Do’a yang Amat Bagus untuk Dihafal

Do’a ini amat baik untuk dihafal, berisi permintaan agar dimasukkan ke surga dan dilindungi dari neraka.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِى خَيْرًا

Allahumma inni as-alukal jannah, wa maa qorroba ilaihaa min qoulin aw ‘amal, wa a’udzu bika minan naari wa maa qorroba ilaiha min qoulin aw ‘amal, wa as-aluka an taj’ala kulla qodho-in qodhoitahu lii khoiroo” (Ya Allah, aku meminta surga pada-Mu serta perkataan atau amal yang mengantarkan padanya. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari neraka serta perkataan atau amal yang mengantarkan padanya. Ya Allah, jadikanlah setiap takdir yang Engkau peruntukkan untukku adalah baik)[6]

Semoga Allah menyelematkan kita dari siksa Jahannam dengan karunia dan kemuliaan-Nya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Referensi:

Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islam, hal. 574-576.

Khutbah Jum’at oleh Syaikh Hammad Al Hammad, 11 Muharram 1432 H di Masjid Kabir Jami’ah Malik Su’ud (King Saud University)

Program Hadits Maktabah Asy Syamilah

Riyadh-KSA, on 13rd Muharram 1432 H (19/12/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id