Sunday, September 25, 2011

Buah Tauhid, Sudahkah Ada Pada Diri Kita?

Memahami tauhid perkara yang sangat mulia. Lebih dari itu, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak kalah mulianya, bahkan itulah tujuan seorang mempelajari tauhid melalui kitab-kitab para ulama. Seringkali, kita lupa bahwa tauhid bukan sekedar wacana yang cukup untuk didiskusikan dan dibaca berulang-ulang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat : 55).

Saudaraku sekalian –semoga Allah menambahkan nikmat Islam dan Sunnah kepada kita- apabila kita kaji lebih dalam dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang, sesungguhnya faidah mempelajari tauhid sangatlah banyak. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu manfaat dari tauhid adalah ia akan menjadi pilar terbesar untuk membangkitkan kemauan menjalankan ketaatan. Sebab, seorang yang bertauhid akan mempersembahkan amalnya tulus karena Allah subhanahu wa ta’ala. Karena dorongan itulah maka dia akan tetap beramal dalam keadaan sepi/sendirian maupun ketika berada di depan orang/terang-terangan. Sedangkan orang yang tidak bertauhid –misalnya orang yang riya’- maka dia akan melakukan amal sedekah, shalat dan berdzikir hanya jika di sisinya terdapat orang yang melihatnya. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya saya sangat ingin mengerjakan suatu ketaatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Dia” ” (al-Qaul al-Mufid, jilid 1. attasmeem.com).

Ikhlas, menuntut perjuangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan untuk-Nya, dengan lurus [bertauhid]…” (QS. al-Bayyinah : 5). Ibadah tidak akan diterima jika tidak ikhlas. Sebagaimana ia tidak akan diterima jika dilakukan dengan cara yang salah. Seorang yang menginginkan agar amalnya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan berusaha mempelajari ilmu tentang ibadah yang akan dia jalani. Setelah mengetahui ilmu tersebut maka dia pun akan berusaha untuk menerapkannya. Kemudian apabila lupa, maka dia pun kembali membuka bukunya, mengingat-ingat tata cara dan bacaan doa yang luput dari ingatannya. Demikianlah seterusnya, sampai dia berhasil meniru tata cara beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Mungkin diperlukan waktu yang tidak sebentar, sepekan dua pekan, sebulan dua bulan, atau bahkan setahun lamanya sampai dia benar-benar bisa melakukannya dengan baik dan sempurna. Demikianlah ketika seorang ingin menjadikan ibadahnya persis sebagaimana dituntunkan oleh Nabi-Nya.

Maka tidak berbeda halnya dalam hal keikhlasan. Untuk mendapatkan keikhlasan dalam beribadah maka seorang hamba harus senantiasa belajar dan belajar, mengingat-ingat dan merenungkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membaca ayat-ayat al-Qur’an, menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membaca keterangan-keterangan para ulama. al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab al-‘Ilm dalam Shahihnya dengan judul ’Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Apa yang beliau kemukakan sangatlah tepat! Dan tidak cukup berhenti di situ saja, setelah mengetahui ilmunya, maka orang masih harus melakukan perjuangan berikutnya yaitu agar ikhlas itu benar-benar terwujud dalam dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. al-Ankabut : 69).

Pentingnya ilmu ikhlas
Kita semua tahu bahwa untuk berwudhu yang benar ada ilmunya. Untuk shalat yang benar ada ilmunya. Untuk berpuasa yang benar ada ilmunya. Demikian pula untuk menunaikan ibadah-ibadah lain dengan benar pun ada ilmunya. Namun hendaknya kita juga ingat bahwa ternyata ikhlas pun ada ilmunya. Bagaimana tidak? Sementara ikhlas itulah tujuan hidup kita, untuk mengajak kepada keikhlasan itulah para rasul dibangkitkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang mengajak] sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36).

Salah satu bukti pentingnya ilmu ikhlas ini adalah apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin fil hadits Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, an-Nawawi, dan Syaikh as-Sa’di rahimahumullah yang memulai kitab mereka dengan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’. Anda bisa melihat hal itu dalam Sahih Bukhari, hadits yang pertama. Umdat al-Ahkam hadits yang pertama. al-Arba’in an-Nawawiyah, hadits yang pertama. Bahjat al-Qulub al-Abrar, hadits yang pertama. Para ulama terkemuka itu menempatkan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’ sebagai hadits pertama dalam kitab-kitab mereka. Tentu saja hal itu menunjukkan betapa pentingnya kandungan hadits tersebut yang tidak lain adalah ajaran keikhlasan beribadah untuk Allah ta’ala.

Buah tauhid itu (baca: ikhlas) sudah ada dalam diri kita?
Menilai orang lain sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun, ketika kita berusaha untuk menilai diri sendiri terkadang kita mengalami kesulitan. Sebagian orang –yang tertipu- merasa bahwa dirinya sudah ikhlas padahal dia belum ikhlas. Sebagian orang yang lain berjuang untuk meraih keikhlasan namun dengan cara-cara yang tidak disyari’atkan, sampai-sampai banyak kewajiban dan ibadah yang ditinggalkannya demi mendapatkan apa yang dia anggap sebagai keikhlasan. Dia meninggalkan amal karena takut dikatakan sebagai orang yang riya’. Sebagian lagi berusaha untuk ikhlas, namun godaan dan rintangan kerapkali menyeretnya ke tepi-tepi jurang kemunafikan. Ketika bersama orang banyak begitu bersemangat, namun ketika sendirian maka lenyaplah gairahnya untuk beramal. Aduhai, termasuk kelompok yang manakah kita?

Saudaraku, perlu kita sadari bahwa riya’d alam beramal merupakan akhlak yang sangat tercela. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Riya’ adalah akhlak yang sangat tercela dan ia termasuk ciri orang munafik.” (al-Qaul al-Mufid, jilid 2. at-tasmeem.com). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka (orang-orang munafik) hendak mendirikan shalat, maka mereka lakukan dengan rasa malas. Mereka ingin amalnya dilihat oleh manusia (riya’), dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. an-Nisaa’: 143).

Sebenarnya apa sih yang kita harapkan dalam hidup ini? Bukankah kitaberharap Allah menerima amal-amal kita? Bukankah kita juga berharap Allah mengampuni dosa-dosa kita? Bukankah kita juga berharap kelak Allah memasukkan kita ke surga dan menyelamatkan kita dari api neraka? Bukankah kita juga tahu bahwa hanya Allah yang bisa memenuhi harapan-harapan kita tersebut? Kita pun tahu bahwa tak seorang pun manusia yang menguasai pemberian rezeki, kehidupan, kematian, surga dan neraka selain Allah semata? Lalu mengapa kita tertipu oleh pujian manusia, dukungan mereka, senyuman mereka dan kedudukan mereka? Apa yang bisa kita harapkan dari manusia? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya apa-apa yang kalian seru (ibadahi) selain Allah itu hanyalah hamba [yang lemah] sebagaimana kalian.” (QS. al-A’raaf : 194). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap untuk berjumpa dengan Rabbnya maka lakukanlah amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun [dengan Allah] dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi : 110).

Cukuplah Allah sebagai saksi atas amal-amal kita! Alangkah meruginya apabila kita mengalami nasib buruk seperti tiga golongan orang yang diadili pertama kali pada hari kiamat nanti. Mereka berjihad, menimba ilmu serta mengajarkannya, rajin berderma; namun ternyata mereka riya’. Dan oleh karena dosa itulah Allah tak segan-segan untuk mencampakkan mereka ke dalam neraka, wal ‘iyadzu billah! Semoga Allah menjaga diri kita dari syirik yang tersembunyi, dan semoga Allah mencabut nyawa kita dalam keadaan kita mengabdi kepada-Nya semata; bukan mengabdi kepada dunia ataupun hawa nafsu manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, 20 Muharram 1430 H

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Thursday, September 22, 2011

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan,

“Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala menceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya (yang artinya), “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml : 40).”

Kembali beliau memaparkan,

“Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17). Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149).

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Bersatu dan Jangan Berpecah Belah

Persatuan kaum muslimin di atas al haqdan larangan berpecah-belah, merupakan prinsip yang agung dalam agama Islam. Namun layak disesalkan, kenyataan yang nampak di kalangan kaum muslimin berbeda dengan ajaran agama yang suci ini. Maka di sini, kami sampaikan sebagian keterangan agama mengenai masalah besar ini. Semoga bermanfaat untuk kita.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)

Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat ini: Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada agama Allah yang telah Dia perintahkan, dan (berpeganglah kamu semuanya) kepada janjiNya yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. [Jami’ul Bayan 4/30.]

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Dia (Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga. Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73 firqah. Diantaranya terdapat satu firqah najiyah (yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi n dan para sahabat beliau.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, surat Ali Imran:103.]

Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah (persatuan) merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]

Al Qurthubi juga mengatakan,“Maka Allah Ta’ala mewajibkan kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah NabiNya, serta -ketika berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan perbuatan. Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi pada kedua ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164)

Beliau juga mengatakan,“Boleh juga maknanya, janganlah kamu berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan yang bermacam-macam. Jadilah kamu saudara-saudara di dalam agama Allah, sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan dan membelakangi.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]

Asy Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini,“Allah memerintahkan mereka bersatu di atas landasan agama Islam, atau kepada Al Qur’an. Dan melarang mereka dari perpecahan yang muncul akibat perselisihan di dalam agama.” [Fahul Qadir 1/367.]

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat diambil beberapa perkara penting berkaitan dengan masalah persatuan.

Pertama. Perkataan Imam Ath Thabari: Berpeganglah kamu kepada janjiNya, yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah; menunjukkan kaidah dan landasan penting tentang persatuan yang benar. Yaitu: persatuan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. Kalimat yang haq, sering diistilahkan untuk kalimat la ilaha illa Allah, termasuk Muhammad Rasulullah. Dengan demikian, asas persatuan ialah tauhid dan Sunnah. Tidak ada persatuan tanpa tauhid dan Sunnah Rasulullah n . Persatuan yang dibangun tidak berdasarkan tauhid, merupakan model persatuan orang-orang musyrik. Dan persatuan yang tidak di atas Sunnah, merupakan persatuan ahli bid’ah. Bukan Ahlus Sunnah!

Kedua. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah yang menghubungkan ayat di atas -yang memerintahkan persatuan- dengan hadits firqah najiyah -menunjukkan- bahwa persatuan yang haq, ialah dengan mengikuti apa-apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau. Membangun persatuan, yaitu dengan mengikuti Al Kitab dan As Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, kemudian menolak bid’ah. Karena seluruh bid’ah merupakan kesesatan. Bid’ah adalah perkara baru dalam agama, yang tidak ada pada zaman Rasulullah n dan para sahabatnya.

Ketiga. Perkataan Al Qurhubi rahimahullah menjadi jelas bagi kita, bahwa langkah menuju persatuan yaitu dengan berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah NabiNya, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Dan jika terjadi perselisihan, maka dikembalikan kepada keduanya.

Keempat. Demikian juga penjelasan Asy Syaukani. Bahwa persatuan, ialah dengan berpegang kepada agama Allah; dengan berpegang kepada Al Qur’an.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَنَّ هذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS Al An’am:153).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata,“Ayat ini memuat perintah agar konsisten terhadap agama Islam, dalam masalah aqidah, ibadah, hukum, akhlaq, dan adab. Ayat ini juga memuat larangan mengikuti selain Islam, yaitu seluruh agama-agama dan sekte-sekte, yang Allah istilahkan dengan ‘jalan-jalan’. (Aisarut Tafasir)

Menjelaskan firman Allah: dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain); Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,”Yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan ini.” (Firman Allah: karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya), yaitu akan menyesatkan dan mencerai-beraikan kamu darinya. Maka jika kamu telah sesat dari jalan yang lurus, maka di sana tidak ada lagi, kecuali jalan-jalan yang akan menghantarkan menuju neraka jahim.” (Taisir Karimir Rahman).

Kemudian dari ayat di atas dapat diambil petunjuk, bahwa diantara langkah menuju dan menjaga persatuan ialah dengan menetapi agama Islam sampai mati, dan berlepas diri dari selainnya, yang berupa: madzhab-madzhab, agama-agama, dan jalan-jalan selain Islam.

LANGKAH MENUJU PERSATUAN

Setelah kita sampaikan perintah Allah tentang masalah persatuan ini, maka bagaimana keadaan umat yang sudah terpecah-belah ini dapat dipersatukan lagi? Tidakkah persatuan umat itu merupakan impian semata yang mustahil diwujudkan?

Sesungguhnya, agama kita mengajarkan segala kebaikan yang dibutuhkan umat manusia. Sedangkan persatuan umat Islam merupakan salah satu prinsip terbesar agama ini. Maka sudah pasti terdapat cara mengobati penyakit perpecahan umat yang sudah berabad-abad lamanya menggerogoti tubuh ini!

Berikut diantara langkah menuju persatuan umat Islam yang didambakan.

Pertama. Memutuskan Perkara Dengan Al Kitab dan As Sunnah.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisa’:59).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia -yang berupa ushuluddin dan furu’- kepada Allah dan RasulNya, yaitu kepada kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terdapat penyelesaian untuk seluruh perkara yang diperselisihkan. Mungkin dengan jelas di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna, yang serupa dengannya dapat dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah RasulNya merupakan fondasi bangunan agama. Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya. Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.” (Taisir Karimir Rahman).

Barangsipa bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah, niscaya akan terhindar dari kesesatan. Allah berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

Barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS Thaha:123).

Kedua. Menetapi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan meninggalkan seluruh bid’ah agama; mengikuti Sunnah Rasullah n , mengikuti Sunnah dan pemahaman sahabat terhadap agama ini. Baik dalam perkara aqidah, ibadah, akhlaq, politik, ekonomi, dan seluruh sisi kehidupan beragama lainnya. Kemudian, menolak seluruh bid’ah. Karena bid’ah, sesungguhnya merupakan salah satu penyebab perpecahan terbesar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).

Ketiga. Ikhlas dan memurnikan mutaba’ah.

Ketika Nabi Yusuf mengikhlaskan untuk Rabbnya, Allah memalingkan darinya pendorong-pendorong keburukan dan kekejian.

Allah Ta’ala berfirman,

كَذلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang dijadikan ikhlas. (QS Yusuf:24).

Oleh karena inilah ketika Iblis mengetahui bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,

فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka, (QS Shad:82-83).

Maka ikhlas merupakan jalan kebebasan, Islam sebagai kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [Al ‘Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, tansiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.]

Hendaklah kaum muslimin menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi satu-satunya manusia yang diikuti secara mutlak. Adapun selain beliau, maka perkataannya dapat diterima atau ditolak, sesuai dengan ukuran kebenaran. Karena seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq, sedangkan yang menyelisihinya adalah batil. Amalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk menjadikan amal tersebut tertolak.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat. Menuntut ilmu syar’i dan mendalami agama dari ahlinya.

Untuk mengikuti al jama’ah, mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidaklah dapat dijalankan kecuali dengan bimbingan para ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena para ulama itu sebagai al jama’ah. Maka seseorang yang ingin selalu menetapi kebenaran dan persatuan, harus selalu mendalami agama dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah yang lurus aqidahnya, terpercaya amanahnya dan agamanya.

Bergaul dengan ahli ilmu, meneladani akhlak, mengambil ilmu mereka dengan manhaj yang lurus merupakan langkah untuk menjauhi perpecahan dan menjaga persatuan. Dan para ulama itu akan selalu ada sepanjang zaman, sampai dikehendaki oleh Allah. Mereka itu adalah thaifah al manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah).

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS An Nahl:43)

PENUTUP

Demikianlah sebagian langkah untuk merajut persatuan. Jika umat ini benar-benar mengikuti agamanya, maka mereka akan hidup bersaudara sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau di bawah ini,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah).

Juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda,

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain, dan beliau menjalin antara jari-jarinya.

Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

Disusun oleh Ustadz Muslim Al-Atsari

Artikel www.ustadzmuslim.com, dipublish ulang www.muslim.or.id

Memotong Jenggot Yang Lebih Dari Satu Genggam

Posted: 19 Sep 2011 06:51 PM PDT

Sebagian ulama memang ada yang membolehkan memotong jenggot jika telah lebih dari satu genggaman[1]. Mereka adalah ulama Hanafiyah dan Hambali[2]. Dalil yang jadi pegangan adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu yang disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ

“Ibnu ‘Umar biasa ketika berhaji atau melaksanakan umroh, beliau menggenggam jenggotnya dan selebihnya dari genggaman tadi, beliau potong” [3].

Ulama-ulama tersebut pun mengatakan bahwa Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu yang membawakan hadits “biarkanlah jenggot” melakukan seperti ini dan beliau lebih tahu apa yang beliau riwayatkan.

Untuk menanggapi pernyataan ulama-ulama tersebut, ada beberapa sanggahan berikut.

  1. Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu hanya memendekkan jenggotnya ketika tahallul saat ihram dan haji saja, bukan setiap waktu. Maka tidak tepat perbuatan beliau menjadi dalil bagi orang yang memendekkan jenggotnya setiap saat bahkan jenggotnya dipangkas habis hingga mengkilap bersih.
  2. Perbuatan Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu muncul karena beliau memahami firman Allah Ta’alaketika manasik,

    مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

    Dengan mencukur rambut kepala dan memendekkannya.” (QS. Al Fath: 27).

    Beliau menafsirkan ayat ini bahwa ketika manasik hendaklah mencukur rambut kepala dan memendekkan jenggot.

  3. Kita sudah melihat riwayat dari Ibnu ‘Umar yang berisi perintah membiarkan jenggot (artinya tidak dirapikan sama sekali). Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

    Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.[4]

    Apabila perkataan atau perbuatan sahabat menyelisihi apa yang ia riwayatkan, maka yang jadi tolak ukur tentu saja haditsnya, bukan pada pemahaman atau perbuatannya. Jadi yang tepat, kembalikanlah pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu membiarkan jenggot sebagaimana adanya hingga lebat.

Dengan demikian, pendapat yang lebih tepat adalah wajib membiarkan jenggot apa adanya tanpa memangkas atau memendekkannya dalam rangka mengamalkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya.[5] Demikianlah yang menjadi pendapat Imam Nawawi rahimahullah sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya[6].

Adapun memotong kurang dari satu genggaman, sama sekali tidak ada satu ulama pun yang membolehkannya sebagaimana kata Ibnu ‘Abidin.[7] Namun demikianlah sungguh aneh orang di sekitar kita, jenggotnya belum sampai 1 cm saja, malah sudah dipangkas hingga habis. Jadi perbuatan Ibnu ‘Umar bukanlah alasan untuk merapikan jenggot. Wallahu waliyyut taufiq.

[Cuplikan dari buku penulis “Mengikuti Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah Teroris” yang akan diterbitkan oleh Pustaka Muslim-Jogja, insya Allah].

Panggang-Gunung Kidul, 13 Jumadats Tsaniyah 1432 H


[1] Namun yang dipotong adalah bagian bawah genggaman dan bukan atasnya. Misalnya kita memegang jenggot yang cukup lebat dengan satu genggaman tangan, maka sisa di bawah yang lebih dari satu genggaman boleh dipotong menurut mereka.

[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 35/224.

[3] HR. Bukhari no. 6892.

[4] HR. Bukhari no. 5893

[5] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/102-103.

[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 35/225.

[7] Idem.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Majelis Dzikir

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam kitab Shahih Muslim :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ قَالَ وَمَاذَا يَسْأَلُونِي قَالُوا يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ قَالَ وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِي قَالُوا لَا أَيْ رَبِّ قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِي قَالُوا وَيَسْتَجِيرُونَكَ قَالَ وَمِمَّ يَسْتَجِيرُونَنِي قَالُوا مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ قَالَ وَهَلْ رَأَوْا نَارِي قَالُوا لَا قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِي قَالُوا وَيَسْتَغْفِرُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوا وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوا قَالَ فَيَقُولُونَ رَبِّ فِيهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إِنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ قَالَ فَيَقُولُ وَلَهُ غَفَرْتُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ

Muhammad bin Hatim bin Maimun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Bahz menuturkan kepada kami. Dia berkata; Wuhaib menuturkan kepada kami. Dia berkata; Suhail menuturkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki para malaikat khusus yang senantiasa berkeliling mencari di mana adanya majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemukan sebuah majelis yang padanya terdapat dzikir maka mereka pun duduk bersama orang-orang itu dan meliputi mereka satu sama lain dengan sayap-sayapnya sampai-sampai mereka memenuhi jarak antara orang-orang itu dengan langit terendah, kemudian apabila orang-orang itu telah bubar maka mereka pun naik menuju ke atas langit” Nabi berkata, “Maka Allah ‘azza wa jalla pun bertanya kepada mereka sedangkan Dia adalah yang paling mengetahui keadaan mereka, ‘Dari mana kalian datang?’. Para malaikat itu menjawab, ‘Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu yang ada di bumi. Mereka mensucikan-Mu (bertasbih), mengagungkan-Mu (bertakbir), mengucapkan tahlil, dan memuji-Mu (bertahmid), serta meminta (berdo’a) kepada-Mu.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang mereka minta kepada-Ku?’. Para malaikat itu menjawab, ‘Mereka meminta kepada-Mu surga-Mu.’ Allah bertanya, ‘Apakah mereka telah melihat surga-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Belum wahai Rabbku.’ Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimana lagi jika mereka benar-benar telah melihat surga-Ku?’. Para malaikat itu berkata, ‘Mereka juga meminta perlindungan kepada-Mu.’ Allah bertanya, ‘Dari apakah mereka meminta perlindungan-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Mereka berlindung dari neraka-Mu, wahai Rabbku’. Maka Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Belum, wahai Rabbku.’ Lalu Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimanakah lagi jika mereka telah melihat neraka-Ku.’ Mereka mengatakan, ‘Mereka meminta ampunan kepada-Mu.’ Maka Allah mengatakan, ‘Sungguh Aku telah mengampuni mereka. Dan Aku telah berikan apa yang mereka minta dan Aku lindungi mereka dari apa yang mereka minta untuk berlindung darinya.’.” Nabi bersabda, “Para malaikat itu berkata, ‘Wahai Rabbku, di antara mereka ada si fulan, seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa, sesungguhnya dia hanya lewat kemudian duduk bersama mereka.’.” Nabi mengatakan, “Maka Allah berfirman, ‘Dan kepadanya juga Aku akan ampuni. Orang-orang itu adalah sebuah kaum yang teman duduk mereka tidak akan binasa.’.” (HR. Muslim dalam Kitab ad-Dzikr wa ad-Du’a wa at-Taubah wa al-Istighfar, hadits no. 2689, lihat Syarh Muslim [8/284-285] cetakan Dar Ibn al-Haitsam)

Hadits yang mulia ini memberikan banyak pelajaran penting bagi kita, di antaranya adalah :

  1. Hadits ini menunjukkan tentang keutamaan dzikir dan majelis dzikir serta duduk bersama orang-orang yang berdzikir (Syarh Nawawi [8/285])
  2. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan duduk bersama orang-orang soleh (Syarh Nawawi [8/285])
  3. Di dalamnya juga terkandung iman kepada para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk nyata bukan khayalan, dan malaikat tersebut memiliki sayap. Dan Allah tidak membutuhkan malaikat
  4. Hadits ini juga menunjukkan disyari’atkannya membuat majelis dzikir yang di dalamnya mereka mengingat Allah, memuji, dan mengagungkan-Nya, mensucikan dan memohon ampunan-Nya. Namun ini bukan berarti berdzikir secara berjama’ah yang banyak dikenal oleh orang pada jaman sekarang. Yang dimaksud adalah memperbanyak dzikir tersebut secara sendiri-sendiri di dalam majelis tersebut tanpa perlu dikomando. Hal ini berdasarkan atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu yang mengingkari perbuatan orang-orang yang melakukan hal semacam itu. Dan hendaknya dzikir itu dengan suara yang pelan, tidak perlu dikeras-keraskan.
  5. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bacaan tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir dibandingkan bacaan dzikir yang lain.
  6. Penetapan sifat Allah al-Kalam/berbicara demikian juga al-’Ilmu/mengetahui
  7. Disyari’atkannya berdoa kepada Allah agar masuk surga dan selamat dari neraka
  8. Di dalamnya juga terkandung dorongan untuk beramal saleh supaya masuk ke dalam surga
  9. Di dalamnya juga terkandung peringatan dan ancaman agar menjauhi amal-amal buruk aagar tidak terjerumus ke neraka
  10. Surga dipenuhi dengan kenikmatan sedangkan neraka dipenuhi dengan kesengsaraan
  11. Iman kepada surga dan neraka
  12. Hadits ini menunjukkan keutamaan beriman kepada perkara gaib
  13. Penetapan salah satu nama Allah yaitu Rabb
  14. Bolehnya menyeru Allah dengan lafazh Ya Rabbi (wahai Rabbku)
  15. Disyari’atkannya untuk meminta ampunan kepada Allah
  16. Hadits ini juga menunjukkan kemurahan Allah ta’ala
  17. Hadits ini menunjukkan bahwa Allah itu tinggi berada di atas langit
  18. Duduk di majelis ilmu merupakan sebab terampuninya dosa dan terkabulnya doa
  19. Dan faidah lainnya yang belum saya ketahui, wallahu a’lam.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Sunday, September 18, 2011

Shalat Istisqa (2)

Khutbah Istisqa

Khutbah istisqa hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun para ulama berbeda pendapat apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya:

Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anahu:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam keluar untuk melakukan istisqa`. Beliau shalat 2 raka’at mengimami kami tanpa azan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan” (HR. Ahmad 16/142, hadits ini dinilai dhaif oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah, 5360)

Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah riwayat lain dari hadits Abdullah bin Zaid Al Mazini Radhiallahu’anahu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج بالناس ليستسقي فصلى بهم ركعتين جهر بالقراءة فيهما وحول رداءه ورفع يديه فدعا واستسقى واستقبل القبلة

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar bersama orang-orang untuk istisqa’. Beliau lalu shalat mengimami mereka sebanyak 2 raka’at dengan bacaan yang dikeraskan pada kedua raka’at. Kemudian beliau membalik posisi selendangnya, lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa meminta hujan sambil menghadap kiblat” (HR. Abu Daud no.1161, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat kedua, khutbah dahulu, lalu berdoa, kemudian shalat. Diantara dalilnya adalah hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas yang telah disebutkan.

Namun perbedaan ini adalah jenis khilaf tanawwu atau perbedaan dalam variasi, artinya dibolehkan mendahulukan shalat dulu ataupun khutbah dulu. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata1 : “Apa yang diperselisihkan ini dapat digabungkan dari segi riwayat. Yaitu sebagian riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai dengan doa kemudian shalat 2 rakaat kemudian khutbah. Lalu sebagian rawi mencukupkan diri pada riwayat tersebut. Sebagian riwayat lagi menyebutkan dimulai dengan khutbah yang di dalamnya ada doa, sehingga terjadilah perbedaan pendapat”

Membalik Rida’

Memakai rida’ (semacam selendang) dan membalik posisi rida’ disunnahkan dalam istisqa, yaitu dengan menaruh kain yang disebelah kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri. Hadits-hadits yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak, diantaranya hadits Abu Hurairah, hadits Abdullah bin Zaid, hadits ‘Aisyah yang sudah disebutkan.

Membalikan rida’ ini dapat dilakukan setelah berdoa, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa, sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid Radhiallahu’anahu :

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المصلى فاستسقى . وحول ردائه حين استقبل القبلة

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan untuk istisqa’. Beliau membalik rida’-nya ketika mulai menghadap kiblat” (HR. Muslim, no.894)

Namun para ulama berbeda pendapat apakah hanya imam yang melakukan hal tersebut ataukah makmum juga? Perbedaan pendapat ini terkait beberapa riwayat yang diperselisihkan keshahihannya, diantaranya hadits berikut:

رأيت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - حين استسقى لنا أطال الدعاء وأكثر المسألة، ثم تحول إلى القبلة وحول رداءه فقلبه ظهرًا لبطن، وتحول الناس معه

Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa beliau memperpanjang doanya, memperbanyak permintaannya, lalu membalik badan ke arah kiblat dan membalik posisi rida’-nya, kain yang atas di perut dipindah ke punggung. Lalu orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka” (HR. Ahmad, 4/41. Syaikh Al Albani dalam Tamaamul Minnah, 264, berkata: ‘Sanadnya qawi, namun lafadz ‘orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka‘ adalah lafadz yang syadz‘).

Kebanyakan ahli hadits menilai hadits ini atau semisalnya sebagai hadits yang syadz. Wallahu’alam, yang lebih rajih, perbuatan ini hanya dianjurkan kepada imam.

Rida’ dalam hal ini bisa digantikan dengan yang semisalnya. Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullah berkata: “Disunnahkan membalikkan rida’ ketika mengakhiri doa. Ujung kanan diletakkan di sebelah kiri,yang kiri diletakkan di sebelah kanan. Demikian juga kain yang sejenis rida’, seperti abaya atau yang lain”2

Adab-Adab Istisqa

Pertama, karena tidak ada waktu khusus untuk melakukan shalat istisqa, maka hendaknya imam membuat kesepakatan dengan masyarakat mengenai hari pelaksanaan shalat. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan:

ووعد الناس يومًا يخرجوا فيه

lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan

Kedua, keluar menuju lapangan tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu dan kerendahan hati. Sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati hingga tiba di lapangan

Ketiga, mengajak semua orang untuk hadir, kecuali para wanita yang dapat menimbulkan fitnah. Ibnu Qudamah berkata: “Dianjurkan bagi semua orang untuk hadir. Lebih diutamakan lagi orang yang memiliki hutang, para masyaikh dan orang-orang shalih. Karena doa mereka lebih cepat diijabah. Para wanita, orang-orang yang sudah tua yang kecantikannya tidak menarik perhatian, tidak mengapa ikut keluar. Adapun para gadis atau wanita yang sangat cantik, tidak dianjurkan untuk keluar. Karena bahaya yang dapat terjadi dengan keluarnya mereka, lebih besar daripada manfaatnya”3.

Keempat, tidak ada adzan atau iqamah sebelum shalat istisqa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah dan juga demikianlah praktek yang dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana dikisahkan oleh Abu Ishaq:

خرج عبد الله بن يزيد الأنصاري ، وخرج معه البراء بن عازب وزيد بن أرقم ، رضي الله عنهم ، فاستسقى ، فقام بهم على رجليه على غير منبر ، فاستغفر ، ثم صلى ركعتين يجهر بالقراءة ، ولم يؤذن ولم يقم قال أبو إسحاق: ورأى عبد الله بن يزيد النبي - صلى الله عليه وسلم -

Abdullah bin Yazid Al Anshari keluar. Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam membersamainya. Semoga Allah meridhai mereka semua. Mereka lalu ber-istisqa’. Abdullah bin Yazid berdiri tanpa menggunakan mimbar. Ia beristighfar, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan, tanpa ada adzan dan iqamah”. Abu Ishaq berkata: “Abdullah bin Yazid pernah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Bukhari no.1022)

Kelima, menasehati kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah, meninggalkan maksiat, memperbanyak istighfar, puasa dan sedekah. Kebiasaan ini dilakukan oleh para salafus shalih, sebagaimana Abdullah bin Yazid Radhiallahu’anhu, juga yang dilakukan oleh Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah dalam suratnya kepada Maimun bin Mihran4, beliau berkata:

إني كتبت إلى أهل الأمصار أن يخرجوا يوم كذا من شهر كذا؛ ليستسقوا، ومن استطاع أن يصوم ويتصدق؛ فليفعل؛ فإن الله يقول: {قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى * وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى} (5) ، وقولوا كما قال أبواكم: {قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْتَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} (1) ، وقولوا كما قال نوح: {وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ} (2) ، وقولوا كما قال موسى: {إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} (3) ، وقولوا كما قال يونس: {لا إِلَهَ إِلا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Aku menulis surat ini kepada para penduduk kota, supaya mereka keluar pada suatu hari yang mereka tentukan, untuk ber-istisqa’. Barangsiapa yang sanggup berpuasa dan bersedekah, hendaknya lakukanlah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Rabb-nya dan mengerjakan shalat‘. Dan berdoakan sebagaimana doa bapak kalian (Adam): ‘Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Nuh: ‘Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Musa: ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Yunus: ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim‘”

Keenam, bersungguh-sungguh dalam menengadahkan tangan ke langit ketika berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anahu berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasllam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

Dalam riwayat Muslim:

أن النبي - صلى الله عليه وسلم - استسقى فأشار بظهر كفيه إلى السماء

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa dan mengarahkan punggung kedua tangannya ke langit

Juga disebutkan dalam hadits ‘Aisyah.

Ketujuh, imam membalikan badan ke arah kiblat, membelakangi para jama’ah, ketika berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah :

ثم رفع يديه فلم يزل في الرفع حتى بدا بياض إبطيه ثم حول إلى الناس ظهره

… kemudian beliau terus-menerus mengangkat kedua tangannya sampai terlihat ketiaknya yang putih, lalu membelakangi orang-orang…

juga dalam hadits Abdullah bin Zaid disebutkan:

أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى المصلى ، فاستسقى فاستقبل القبلة

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat

Doa-doa Istisqa

Berikut ini beberapa doa yang dipraktekkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa:

اللهم اسقنا، اللهم اسقنا، اللهم اسقنا

Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x” (HR. Bukhari, no. 1013, 1014, Muslim no.897)

Dalam riwayat Muslim:

اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا

Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x”

اللهم اسقنا غيثًا مغيثًا، مريعًا، نافعًا غير ضار، عاجلاً غير آجل

Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang terus-menerus, yang bermanfaat serta tidak membahayakan, yang datang dengan segera dan tidak tertunda” (HR. Abu Daud no.1169, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، ملك يوم الدين، لا إله إلا الله يفعل ما يريد، اللهم أنت الله لا إله إلا أنت الغني ونحن الفقراء، أنزل علينا الغيث واجعل ما أنزلت لنا قوة وبلاغًا إلى حين

Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan(HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

اللهم اسق عبادك، وبهائمك، وانشر رحمتك، وأحيي بلدك الميت

Ya Allah, turunkanlah hujan kepada hamba-Mu, serta hewan-hewan ternak, tebarkanlah rahmat-Mu, serta hidupkanlah negeri-negeri yang mati” (HR. Abu Daud no.1176, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

اللهم اسقنا غيثًا مريئًا مريعًا طبقًا عاجلاً غير رائث ، نافعًا غير ضار

Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang memberi kebaikan, yang terus-menerus, yang memenuhi bumi, yang datang dengan segera dan tidak tertunda, yang bermanfaat serta tidak membahayakan” (HR. Ibnu Maajah no.1269, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

Demikian pembahasan singkat mengenai istisqa’, mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa orang-orang yang istisqa dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat bagi semua orang. Amiin ya mujiibas sailiin.

1 Fathul Baari, 2/500

2 Al Mulakhas Al Fiqhi 289

3 Al Mughni, 3/335

4 Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya, 3/87, dengan sanad yang shahih

Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.

Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Shalat Istisqa (1)

Istisqa artinya meminta hujan. Dalam kamus Lisaanul ‘Arab disebutkan:

ذكر الاستسقاء في الحديث، وهو استفعال من طلب السقيا: أي إنزال الغيث على البلاد والعباد

Istisqa disebutkan dalam hadits. Arti istisqa adalah permohonan meminta as saqa, yaitu diturunkannya hujan kepada sebuah negeri atau kepada orang-orang”1

Namun di kalangan ahli fiqih, sudah dipahami jika disebut shalat istisqa, yang dimaksud adalah permohonan diturunkannya hujan kepada Allah, bukan kepada makhluk2.

Hukum Shalat Istisqa

Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan) ketika terjadi musim kering, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan hal tersebut, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:

شكا الناس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم قحوط المطر فأمر بمنبر فوضع له في المصلى ووعد الناس يوما يخرجون فيه قالت عائشة فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بدا حاجب الشمس فقعد على المنبر فكبر صلى الله عليه وسلم وحمد الله عز وجل ثم قال إنكم شكوتم جدب دياركم واستئخار المطر عن إبان زمانه عنكم وقد أمركم الله عز وجل أن تدعوه ووعدكم أن يستجيب لكم ثم قال ( الحمد لله رب العالمين الرحمن الرحيم ملك يوم الدين ) لا إله إلا الله يفعل ما يريد اللهم أنت الله لا إله إلا أنت الغني ونحن الفقراء أنزل علينا الغيث واجعل ما أنزلت لنا قوة وبلاغا إلى حين ثم رفع يديه فلم يزل في الرفع حتى بدا بياض إبطيه ثم حول إلى الناس ظهره وقلب أو حول رداءه وهو رافع يديه ثم أقبل على الناس ونزل فصلى ركعتين فأنشأ الله سحابة فرعدت وبرقت ثم أمطرت بإذن الله فلم يأت مسجده حتى سالت السيول فلما رأى سرعتهم إلى الكن ضحك صلى الله عليه وسلم حتى بدت نواجذه فقال أشهد أن الله على كل شيء قدير وأني عبد الله ورسوله

Orang-orang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang musim kemarau yang panjang. Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang, lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan”. Aisyah lalu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat, lalu beliau duduk di mimbar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan mengabulkan doa kalian” Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan. (QS. Al-Fatihah: 2-4). laa ilaha illallahu yaf’alu maa yuriid. allahumma antallahu laa ilaha illa antal ghaniyyu wa nahnul fuqara`. anzil alainal ghaitsa waj’al maa anzalta lanaa quwwatan wa balaghan ilaa hiin (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan).” Kemudian beliau terus mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau. Kemudian beliau membalikkan punggungnya, membelakangi orang-orang dan membalik posisi selendangnya, ketika itu beliau masih mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun dari mimbar dan shalat dua raka’at. Lalu Allah mendatangkan awan yang disertai guruh dan petir. Turunlah hujan dengan izin Allah. Beliau tidak kembali menuju masjid sampai air bah mengalir di sekitarnya. Ketika beliau melihat orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh, beliau tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda: “Aku bersaksi bahwa Allah adalah Maha kuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Ibnu Qudamah berkata: “Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah, ditetapkan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Khulafa Ar Rasyidin3

Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Para ulama telah ber-’ijma bahwa keluar beramai-ramai untuk shalat istisqa di luar daerah dengan doa dan memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim kemaran dan kekeringan melanda hukumnya adalah sunnah, yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tanpa ada perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal ini”4

Penyebab Terjadinya Kekeringan

Sebab terjadinya kekeringan yang berkepanjangan, bencana alam serta musibah-musibah lain secara umum adalah maksiat. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syuraa: 30)

Selain merebaknya maksiat secara umum, banyaknya orang yang enggan membayar zakat serta banyak kecurangan dalam jual beli, menjadi penyebab khusus atas terjadinya kekeringan dan masa-masa sulit. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يا معشر المهاجرين: خمس إذا ابتليتم بهن وأعوذ بالله أن تدركوهن: لم تظهر الفاحشة في قوم قطُّ حتى يعلنوا بها إلاَّ فشا فيهم الطاعونُ والأوجاعُ التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مَضَوا.ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أُخذوا بالسنين وشدة المؤونة وجَوْر السلطان عليهم. ولم يَمْنعوا زكاة أموالهم إلا مُنعوا القطرَ من السماء، ولولا البهائمُ لم يُمطروا. ولم ينقضوا عهد الله وعهد رسوله إلا سلّط الله عليهم عدوًّا من غيرهم فأخذوا بعض ما في أيديهم. وما لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم

Wahai sekalian kaum muhajirin, kalian akan diuji dengan lima perkara dan aku memohon perlindungan Allah agar kalian tidak ditimpa hal-hal tersebut.

  1. Ketika perbuatan keji merajalela di tengah-tengah kaum hingga mereka berani terang-terangan melakukannya, akan menyebar penyakit menular dan kelaparan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

  2. Ketika orang-orang gemar mencurangi timbangan, akan ada tahun-tahun yang menjadi masa sulit bagi kaum muslimin dan penguasa berbuat jahat kepada mereka

  3. Ketika orang-orang enggan membayar zakat, air hujan akan ditahan dari langit. Andaikata bukan karena hewan-hewan ternak, niscaya hujan tidak akan pernah turun.

  4. Ketika orang-orang mengingkari janji terhadap Allah dan Rasul-Nya, Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka berkuasa atas mereka, kemudian mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka,

  5. Ketika para penguasa tidak berhukum dengan Kitab Allah dan mereka memilih selain dari apa yang diturunkan oleh Allah, Allah akan menjadikan kehancuran mereka dari diri mereka sendiri

(HR. Ibnu Maajah no.3262. Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

Sebagai perenungan akan masalah ini, silakan simak artikel Akibat Perbuatan Maksiat.

Beberapa Jenis Istisqa Kepada Allah

Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang ditetapkan oleh syari’at, dapat dilakukan dengan beberapa cara:

Pertama, shalat istisqa secara berjama’ah ataupun sendirian5.

Kedua, imam shalat Jum’at memohon kepada Allah agar diturunkan hujan dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma’ bahwa hal ini disunnahkan senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu6. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana diceritakan sahabat Anas Bin Malik Radhiallahu’anhu:

أن رجلا دخل المسجد يوم الجمعة ، من باب كان نحو دار القضاء ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم قائم يخطب ، فاستقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم قائما ، ثم قال : يا رسول الله ، هلكت الأموال وانقطعت السبل ، فادع الله يغثنا . فرفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه ، ثم قال :اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا . قال أنس : ولا والله ، ما نرى في السماء من سحاب ، ولا قزعة ، وما بيننا وبين سلع من بيت ولا دار . قال : فطلعت من ورائه سحابة مثل الترس ، فلما توسطت السماء انتشرت ثم أمطرت . فلا والله ما رأينا الشمس ستا

Seorang lelaku memasuki masjid pada hari jum’at melalui pintu yang searah dengan daarul qadha. Ketika itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang berkhutbah dengan posisi berdiri. Lelaki tadi berkata: ‘Wahai Rasulullah, harta-harta telah binasa dan jalan-jalan terputus (banyak orang kelaparan dan kehausan). Mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan!’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan: Allahumma aghitsna (3x). Anas berkata: ‘Demi Allah, sebelum itu kami tidak melihat sedikitpun awan tebal maupun yang tipis. Awan-awan juga tidak ada di antara tempat kami, di bukit, rumah-rumah atau satu bangunan pun”. Anas berkata, “Tapi tiba-tiba dari bukit tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan pun menyebar dan hujan pun turun”. Anas melanjutkan, “Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari’” (HR. Bukhari no.1014, Muslim no.897)

Ketiga, berdoa setelah shalat atau berdoa sendirian tanpa didahului shalat. Para ulama ber-’ijma akan bolehnya hal ini7.

Tempat Shalat Istisqa

Shalat istisqa lebih utama dilakukan di lapangan, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha disebutkan:

فأمر بمنبر فوضع له في المصلى

Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang

Juga dalam hadits Abdullah bin Zaid Al Mazini:

أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى المصلى ، فاستسقى فاستقبل القبلة ، وقلب رداءه ، وصلى ركعتين

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat” (HR. Bukhari no. 1024)

Namun boleh melakukannya di masjid, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani8 :

قوله : ( باب الاستسقاء في المسجد الجامع ) أشار بهذه الترجمة إلى أن الخروج إلى المصلى ليس بشرط في الاستسقاء

“Perkataan Imam Al Bukhari: ‘Bab Shalat Istisqa di Masjid Jami‘, menunjukkan tafsiran beliau bahwa keluar menuju lapangan bukanlah syarat sah shalat istisqa”

Waktu Pelaksanaan Shalat Istisqa

Shalat istisqa tidak memiliki waktu khusus namun terlarang dikerjakan di waktu-waktu terlarang untuk shalat9. Akan tetapi yang lebih utama adalah sebagaimana waktu pelaksanaan shalat ‘Id, yaitu ketika matahari mulai terlihat. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha disebutkan:

فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بدا حاجب الشمس

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat

Tata Cara Shalat Istisqa

Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara shalat istisqa. Ada dua pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama, tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat ‘Id. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج متبذلا متواضعا متضرعا حتى أتى المصلى فلم يخطب خطبتكم هذه ، ولكن لم يزل في الدعاء ، والتضرع ، والتكبير ، وصلى ركعتين كما كان يصلي في العيد

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati hingga tiba di tempat shalat. Lalu beliau berkhutbah tidak sebagaimana biasanya, melainkan beliau tidak henti-hentinya berdoa, merendah, bertakbir dan melaksanakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melakukan shalat ‘Id” (HR. Tirmidzi no.558, ia berkata: “Hadits hasan shahih”)

Tata caranya sama dengan shalat ‘Id dalam jumlah rakaat, tempat pelaksanaan, jumlah takbir, jahr dalam bacaan dan bolehnya khutbah setelah shalat10. Ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya Sa’id bin Musayyab, ‘Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, dan Imam Asy Syafi’i.

Hanya saja berbeda dengan shalat ‘Id dalam beberapa hal:

  1. Hukum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Namun shalat istisqa berbeda dengan shalat ‘Id dalam hal hukum shalat Istisqa adalah sunnah, sedangkan shalat ‘Id adalah fardhu kifayah”. Sebagian ulama muhaqqiqin juga menguatkan hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain11.

  2. Waktu pelaksanaan. Sebagaimana telah dijelaskan.

Mengenai tata cara shalat ‘Id secara rinci silakan baca kembali artikel: Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha

Pendapat kedua, tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan takbir. Hal ini didasari hadits dari Abdullah bin Zaid:

خرج النبي - صلى الله عليه وسلم - إلى المصلى فاستقبل القبلة وحول رداءه، وصلى ركعتين

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat” (HR. Bukhari no.1024, Muslim no.894).

Zhahir hadits ini menunjukkan shalat istisqa sebagaimana shalat sunnah biasa, tidak adanya takbir tambahan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Al Auza’i, Abu Tsaur, dan Ishaq bin Rahawaih.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini beliau mengatakan12 : “Mengerjakan yang mana saja dari dua cara ini adalah boleh dan baik”.

[Bersambung, insya Allah]

1 Lisaanul ‘Arab, 14/393

2 Syarhul Mumthi’, 5/361

3 Al Mughni, 3/334

4 At Tamhid, 17/172

5 Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504

6 Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504

7 Lihat Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi 6/439, Al Inshaf 5/436, Al Mughni 3/348

8 Fathul Baari, 1/582

9 Al Mughni, 3/327 – 328

10 Al Mughni 3/335, Hasyiah Ibnu Qasim Ala Ar Radhil Murbi’ 2/541, Asy Syarhul Kabir Lil Inshaf 5/411

11 Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183

12 Al Mughni, 3/335 – 337

Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.

Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)

Pernikahan seringkali harus ditempuh dalam kurun yang cukup panjang dalam kehidupan seseorang. Pada kasus beberapa orang, ada yang sangat diberi kemudahan oleh Allah dalam menggapainya. Akan tetapi, pada beberapa orang yang lain, dia kerapkali harus jungkir balik menghadapi banyak rintangan dalam menggapai mahligai pernikahan.

Salah satu rintangan yang banyak dihadapi oleh pejuang pernikahan adalah penolakan. Penolakan oleh calon pasangan bisa disebabkan karena faktor ketidakcocokan dari segi agama; rupa; harta; maupun lainnya. Andaikata yang mengalami ujian penolakan ini bersikap “biasa saja”, tentu tidaklah mengapa. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang merasa kecewa bahkan hingga mencapai tahap putus asa. Lalu, bagaimanakah solusinya?

1. Menyikapi suatu masalah dengan sudut pandang ilmu syariat

Pola pikir dan sudut pandang seseorang, sangat menentukan bagaimana respon orang tersebut dalam menyikapi sebuah problema. Apabila dia meluruskan mindset dengan benar, maka -Insya Allah- tidak akan timbul respon tragedi yang bernama “deraan rasa kecewa dan putus asa”.

Pola pikir yang benar untuk menghadapi hal semacam ini, yakni pola pikir yang dilandasi dengan ilmu syari’at, sehingga akan menghasilkan akal yang jernih; hati yang sehat dan sikap yang tepat dalam menyikapi suatu kejadian. Pola pikir inilah yang mencerminkan kedalaman ilmu agamanya, kokohnya iman dan takwa yang begitu kuat terhujam mengakar di dadanya. Maka, pasung dan perangilah pola pemikiran yang hanya berlandaskan emosi negatif dan sudut pandang melankolisme semata. Respon kejadian berupa perasaan sedih dan sahabat-sahabatnya, merupakan hal yang manusiawi jika hanya untuk sesaat. Akan tetapi, jika dibiarkan berlarut-larut malah bisa membuka pintu maksiat.

2. Bersikaplah ridha, sabar, tawakkal

Perkara jodoh memang sudah ditakdirkan. Jodoh termasuk perkara rizki seseorang, dan penetapan rizki seseorang sekaligus takdir atas semua makhluk Allah ini memang telah usai pencatatannya di Al-Lauh Al-Mahfuzh 50.000 tahun sebelum Allah mencipta alam semesta.

Takdir seseorang itupun juga sudah ditentukan di catatan malaikat, ketika orang tersebut masih dalam kandungan ibunda pada usia 4 bulan di dalam kandungan. Maka, sungguh beruntung orang-orang yang dimudahkan mengimani Qadha dan Qadar yang telah menjadi ketetapan bagi dirinya, hingga dia pun bisa merasakan manfaatnya yang besar tiada terkira.

Salah satu manfaat beriman kepada Qadha dan Qadar, Anda meyakini bahwa kejadian penolakan itu sudah Allah tetapkan di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana. Betapapun Anda sudah mati-matian berusaha dan berdo’a. Disamping itu, kejadian penolakan itu sudah berada dalam catatan takdir Anda yang dipegang oleh malaikat.

Statemen ini tidak membawa konsekuensi adanya penafian usaha manusia, atau saran kepada manusia agar tidak usah berusaha saja, sehingga hamba bisa bermalas-malasan dalam menghadapi segala sesuatu hanya karena alasan “toh sudah ditakdirkan.” Tidak…sama sekali bukan begitu. Statemen ini justru digunakan untuk membuka cakrawala pemikiran seseorang, bahwa apa yang Allah takdirkan bagi Anda pasti menimpa Anda, tiada pernah sekejap pun luput dari Anda. Begitu pula sebaliknya, Anda tidak akan pernah bisa mendapat apa yang Allah tidak takdirkan bagi Anda.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(22) لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ(23) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ(24)

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Al-Hadid: 22-24)

Manfaat lain iman terhadap Qadha dan Qadar, supaya Anda bisa lebih bersabar; bersyukur; dan ridha terhadap segala sesuatu yang menimpa diri Anda. Bukan hanya bisa terlalu bersedih dan dirundung duka ketika ada musibah datang melanda. Kalau Anda sudah menyadarinya, kenapa pula Anda harus berduka terhadap sesuatu yang memang sudah ditakdirkan olehNya?? Tidak perlu terlalu risau dan cemas terhadap masa depan Anda, teruslah berdoa; berusaha; bertawakkal dan bersabar; serta ridha pada segala ketetapanNya.

Berjuanglah dengan gigih, niscaya Anda akan dipermudah dalam menempuh apa yang Allah takdirkan bagi diri Anda -Insya Allah-

عن أبي الزبيرعن جابر قال جاء سراقة بن مالك بن جعشم قال يارسول الله بين لنا ديننا كأنا خلقنا الآن فيما العمل اليوم أفيما جفت به الاقلام وجرت به المقادير ام فيما نستقبل قال لا بل فيما جفت به الاقلام وجرت به المقادير قال ففيم العمل قال زهير ثم تكلم أبو الزبير بشئ لم افهمه فسألت ما قال؟ فقال: اعملوا فكل ميسر

Dari Abu Az-Zubair, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Suraqah ibn Malik ibn Ju’syum datang ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah pada kami mengenai perkara agama kami, seolah-olah kami baru diciptakan saat ini, yaitu mengenai amal perbuatan kami hari ini, apakah amalan tersebut berdasarkan pada apa yang tertulis oleh tinta pena yang telah mengering [1] dan berdasar pada takdir-takdir yang telah ditetapkan, ataukah berdasarkan apa yang akan kita hadapi?”
Zuhair berkata, “Lalu Abu Az-Zubair berkata sesuatu yang tidak saya mengerti.”, maka saya pun bertanya,”Apa yang Rasulullah ucapkan?”. Kemudian Abu Zubair menjawab, “beramallah! Karena semuanya telah dimudahkan.” (HR.Muslim, no.2648)

3. Bertakwa

Ketakwaan insan, membuahkan manfaat yang sangat banyak. Salah satu manfaat takwa adalah: Allah akan memberikan jalan keluar untuk problematika yang dia hadapi, dan Allah akan memberikan rizki baginya dari arah yang tidak dia sangka.

…وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)

“…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs.Ath-Thalaq: 2-3)

4. Jadilah mukmin yang kuat imannya dan bermental baja

Dampak penolakan yang dirasakan laki-laki, biasanya lebih ringan dirasa bagi jiwa dibanding penolakan yang dirasakan wanita. Andaikata makhluk yang berjiwa halus (baca: wanita) ini ditolak, seringkali mereka merasa bak sedang terlempar ke dalam palung melankolisme, yang dalamnya tak bisa diungkap lewat untaian kata.

Berbagai rasa pun bersatu padu, menghasilkan penyakit “pilu sendu yang mengharu biru”. Ada sejumput rasa sesak dalam dada; sedih; kecewa; malu; menjadi rendah diri (minder); bahkan putus asa…Amboi, sungguh komplit sekali rasanya…-Subhanallah-. Betul-betul perpaduan emosi negatif yang sempurna! Duhai manusia..andai saja dia bisa bersikap tegar, tabah, dan tegak berdiri dengan berlapang dada ketika penolakan itu menimpanya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Akan tetapi, keduanya tetaplah memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, dan jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah engkau berkata: ‘Ini sudah menjadi takdir Allah. Setiap apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan “lau” (seandainya) dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim no.2664, di dalam kitab Al-Qadar)

Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan maksud perkataan “mukmin yang kuat” dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin,

المؤمن القوي: يعني في إيمانه وليس المراد القوي في بدنه، لأن قوة البدن ضرراً على الإنسان إذا استعمل هذه القوة في معصية الله، فقوة البدن ليست محمودة ولا مذمومة في ذاتها، إن كان الإنسان استعمل هذه القوة فيما ينفع في الدنيا والآخرة صارت محمودة، وإن استعان بهذه القوة على معصية الله صارت مذمومة

لكن القوة في قوله صلى الله عليه وسلم المؤمن القوي أي قوي الإيمان، ولأن كلمة القوي تعود إلى الوصف السابق وهو الإيمان، كما تقول الرجل القوي: أي في رجولته، كذلك المؤمن القوي يعني في إيمانه، لأن المؤمن القوي في إيمانه تحمله قوة إيمانه على أن يقوم بما أوجب الله عليه، وعلى أن يزيد من النوافل ما شاء الله….

“Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat adalah kuat imannya, bukanlah yang kuat badannya. Karena kuatnya badan bisa membahayakan manusia jika dia menggunakan kekuatannya ini untuk bermaksiat kepada Allah. Kuatnya badan belum tentu mutlak terpuji ataupun tercela.

Apabila orang tersebut menggunakan kekuatan ini dalam hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, maka kekuatan itu menjadi suatu hal yang terpuji. Akan tetapi, jika kekuatan ini justru membantu dia melakukan tindak maksiat terhadap Allah, maka kekuatan ini malah menjadi tercela.

Akan tetapi, kata kuat yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Mukmin yang kuat” yakni kuatnya iman, karena kata kuat kembali kepada hal yang disifati sebelumnya, yaitu iman. (kata “kuat” di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam digunakan untuk menyifati mukmin, dan kata “mukmin” artinya orang yang beriman, sehingga kata kuat ini menyifati keimanan yang ada pada diri orang yang beriman. -pen).

Sebagaimana ketika Anda berkata, “Seorang lelaki yang perkasa.” yakni kuat dalam hal kejantanannya. Begitupula berkenaan dengan kata mukmin yang kuat, maka kuat yang dimaksud adalah keimanannya, karena seorang mukmin yang kuat imannya akan mampu melakukan kewajiban yang Allah limpahkan kepada dirinya, dan dia mampu menambah ibadah sunnahnya sesuai dengan yang Allah kehendaki bagi dirinya.”

Oleh karena itu, buktikan dan tunjukkanlah sikap seorang yang kuat imannya, “Baiklah, saya memang ditolak….tapi saya berusaha mengendalikan diri saya untuk tetap tegar, lapang dada, sabar dan ridha ! Saya tetap bisa menjalani hari-hari saya tanpa rasa kecewa Insya Allah. Saya mukmin yang ingin dicintaiNya dan saya merasa bahagia terhadap segala yang Allah tetapkan bagi diri saya…karena apapun ketetapanNya, itulah yang terbaik bagi saya.”

عن صهيب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/ kesenangan, dia bersyukur maka ini menjadi kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini pun menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999 )

——–

[1] Yang dimaksud dengan “ keringnya pena” ada beberapa keterangan ulama sebagai berikut:

a)

أَيْ مَضَتْ بِهِ الْمَقَادِير ، وَسَبَقَ عِلْم اللَّه تَعَالَى بِهِ ، وَتَمَّتْ كِتَابَته فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ ، وَجَفَّ الْقَلَم الَّذِي كُتِبَ بِهِ ، وَامْتَنَعَتْ فِيهِ الزِّيَادَة وَالنُّقْصَان

“Penetapan takdir seluruh makhluk telah terjadi, pengetahuan Allah telah mendahuluinya, telah sempurna penulisan takdir di Al-Lauh Al-Mahfuzh, dan telah kering tinta pena yang digunakan untuk menulis lembaran takdir, sehingga tidak mungkin mengalami penambahan dan pengurangan.” (Syarh Muslim li An-Nawawi)

b)

( جَفَّ الْقَلَمُ )
إِشَارَة إِلَى أَنَّ الَّذِي كُتِبَ فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ لَا يَتَغَيَّر حُكْمه ، فَهُوَ كِنَايَة عَنْ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة ؛ لِأَنَّ الصَّحِيفَة حَال كِتَابَتهَا تَكُون رَطْبَةً أَوْ بَعْضهَا وَكَذَلِكَ الْقَلَم فَإِذَا اِنْتَهَتْ الْكِتَابَة جَفَّتْ الْكِتَابَة وَالْقَلَم ، وَقَالَ الطِّيبِيُّ هُوَ مِنْ إِطْلَاق اللَّازِم عَلَى الْمَلْزُوم ؛ لِأَنَّ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة يَسْتَلْزِم جَفَاف الْقَلَم عِنْد مِدَادِهِ . قُلْت : وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنْ كِتَابَةَ ذَلِكَ اِنْقَضَتْ مِنْ أَمَدٍ بَعِيدٍ . وَقَالَ عِيَاض : مَعْنَى جَفَّ الْقَلَم أَيْ لَمْ يَكْتُب بَعْد ذَلِكَ شَيْئًا …

“Mengisyaratkan bahwa hukum segala sesuatu yang telah ditulis di Al-Lauh Al-Mahfuzh tidak akan berubah. Kalimat ini merupakan ungkapan yang menunjukkan telah selesainya pencatatan takdir. Karena lembaran kertas ketika dalam proses ditulisi umumnya masih basah. Demikian pula tinta pena, ketika penulisan telah selesai maka catatan dan tinta pena akan mengering. Ath-Thibi berkata, “lafazh “keringya pena” ini berisi konsekuensi sebab akibat, karena tuntasnya pencatatan takdir pasti mengakibatkan keringnya tinta pada pena pencatat takdir. Ibn Hajar berkata, “di dalam lafazh ini terdapat isyarat bahwa pencatatan takdir telah usai dalam rentang waktu yang lama. ‘Iyadh berkata, “makna keringnya pena yakni pena tersebut tidak akan lagi digunakan untuk mencatat lagi takdir apapun.” (Fathul Bari)

-Bersambung Insya Allah-

***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Fatih Daya Khairani
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Syarh Riyadh Ash-Shalihin min kalam Sayyid Al-Mursalin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Prof Abdullah Ath-Thayyar, Darul Wathan, Riyadh-KSA, 1996
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, Imam An-Nawawi dengan tahqiq: Syaikh Khalil Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon,1997
3. Al-Qur’an terjemahan Depag
4. Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Ibn Katsir, Bogor, 2005
5. Al-Kaba’ir Ma’a Syarh, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Abu ‘Abdirrahman ‘Adil ibn Sa’ad, Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 2006
6. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-KSA, 2005
7. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir Al-Barrak, dalam format pdf yang diperoleh dari www.islamlight.net
8. Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani dengan tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz dan tarqim: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Darul Hadits, Kairo, 2004