“Kualitas bisa menandingi kesekian kuantitas” Demikianlah ungkapan yang banyak tersebar di media masa. Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu kita sangat menginginkan amalan-amalan ibadah yang kita lakukan di dunia, mendapat balasan yang sangat banyak di akhirat kelak. Kita semua berharap dengan amalan ibadah kita yang sedikit, kita akan mendapat pahala yang berlipat ganda nanti di akhirat. Dengan apakah hal itu bisa terwujud? Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas amalan ibadah kita. Pada pembahasan kami kali ini, kami akan membahas tentang ihsan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk bisa melakukan amalan-amalan yang Dia cintai dan Dia ridhai.
Pembagian Ihsan
Sebelum kami membahas lebih jauh tentang ihsan dalam beribadah, perlu diketahui sebelumnya bahwa pada dasarnya, ihsan terbagi menjadi dua: (1) ihsan dalam ibadah kepada Allah; dan (2) ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah – jenis yang akan dibahas di sini – terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib dan ihsan yang mustahab (sunah), sebagaimana ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk juga terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib, dan ihsan yang mustahab (sunah). (Lihat Hushulul Ma-mul karya Syaikh Abdullah al-Fauzan hafidzahullah)
Ihsan yang Wajib dalam Beribadah
Ihsan yang wajib ialah seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan memenuhi dua syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’(mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik (lebih ihsan) amalnya.” (QS. Huud: 7)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut, “Yaitu amal yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sesungguhnya suata amalan, jika dia ikhlas tetapi tidak benar; maka amalan tersebut tidak diterima. Demikian juga sebaliknya, jika suatu amalan benar, tetapi tidak ikhlas; maka amalan tersebut juga tidak diterima. Amalan hanya akan diterima jika dia ikhlas dan benar.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, “Suatu amalan tidak dapat dikatakan ihsan, sampai amalan tersebut ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir al-Quranil ‘Adzim)
Kenapa Pahalanya Berbeda?
Pahala yang Allah berikan kepada hamba-Nya atas amal ibadah yang telah dia lakukan, berbeda-beda. Ada diantara mereka yang mendapat pahala sepuluh kali lipat, ada yang tujuh ratus kali lipat, bahkan ada yang jauh lebih banyak dari itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermaksud berbuat kebaikan, kemudian dia mengamalkannya; maka Allah akan mencatatnya di sisi-Nya dengan sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipatnya, bahkan sampai jumlah yang banyak sekali.” (Muttafaqun ‘alaih)
Kenapa demikain? Bukankah amalan yang dilakukan sama? Bukankah ibadahnya sama-sama diterima di sisi Allah Ta’ala? Kenapa balasan kebaikannya berbeda? Salah satu alasannya adalah perbedaan tingkatan ihsan seorang hamba ketika melakukan ibadah tersebut.
Sebagai misal, orang yang shalat ashar dengan khusyuk dari takbiratul ihram sampai salam, tentu mendapat pahala yang lebih banyak dari orang yang mengamalkan ibadah serupa, tetapi khusyuknya hanya dua rakaat saja. Orang yang khusyuk pada dua rakaat, pahalanya lebih banyak dari orang yang khusyuknya hanya satu rakaat saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang selesai dari shalatnya tetapi tidak ditulis pahala (penuh) baginya, kecuali setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, hingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘sepersepuluhnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya)
Ihsan yang Mustahab
Kadar ihsan seorang hamba ketika melaksanakan ibadah berbeda-beda. Pahala yang dia dapatkan dari ibadah tersebut pun berbeda-beda, sesuai dengan tingkat ihsannya. Setelah kita menunaikan ihsan yang wajib terkait dengan amalan ibadah (yaitu ikhlas dan ittiba’), hendaknya kita melanjutkannya dengan melakukan sunah-sunahnya. Ihsan yang mustahab (sunah) terbagi menjadi dua tingkatan:
1. Tingkatan Musyahadah
Yaitu seseorang beribadah kepada Allah seolah-oleh dia melihat-Nya. Maksud melihat di sini bukanlah melihat dzat-Nya, tetapi melihat sifat-sifat-Nya, yaitu dengan melihat bekas-bekas dari sifat-sifat-Nya yang bisa disaksikan pada ciptaan-Nya.
Ilmu dan keyakinan seorang mukmin dengan nama-nama Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya akan menjadikannya mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat di alam ini kepada salah satu nama di antara nama-nama Allah atau sifat diantara sifat-sifat-Nya. Ketika dia melihat sesuatu yang menyenangkan, maka dia langsung ingat akan keluasan rahmat-Nya. Ketika dia melihat suatu musibah, maka dia langsung ingat akan kekuasaan Allah dan dalamnya hikmah-Nya. Dia senantiasa mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat kepada nama diantara nama-nama Allah Ta’ala atau sifat diantara sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, maka nama-nama Allah yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi akan senantiasa hadir dalam hatinya, khususnya ketika beribadah kepada Allah Ta’ala.
2. Tingkatan Muraqabah
Yaitu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan disertai perasaan bahwasanya Allah senantiasa mengawasinya. Jika seorang hamba beribadah kepada Allah dengan perasaan demikian, maka dia akan senantiasa berusaha membaguskan ibadahnya karena Allah Ta’alasenantiasa mengawasinya. Ketika dia memulai shalat, dia yakin bahwa Allah mengawasinya dan dia sedang berdiri dihadapan-Nya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan di dalam shalat tersebut, dan membaguskannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menjelaskan tentang makna ihsan, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun, jika engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Tingkatan yang pertama (tingkatan musyahadah) ditunjukkan oleh sabda beliau, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.” Sedangkan tingkatan muraqabah, yaitu tingkatan yang lebih rendah dari tingkatan musyahadah, ditunjukkan oleh sabda beliau, “Namun, jika engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Demikialah sedikit bahasan tentang ihsan dalam beribadah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk dapat ihsan dalam semua amal ibadah kita kepada-Nya. Semoga Allah menerima semua amalan kita, dan memberikan balasan yang berlipat ganda nanti di akhirat.
Rujukan utama:
Syarh Arbain oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidhahullah.
—
Penulis: Abu Ka’ab Prasetyo
Artikel Muslim.Or.Id
Senang Mendengarkan Bacaan al-Qur’an
Posted: 06 Sep 2011 02:18 AM PDT
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ» قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ؟ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ: «إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي» ، فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا} [سورة: النساء، آية رقم: 41] رَفَعْتُ رَأْسِي، أَوْ غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah kepadaku al-Qur’an.” Ibnu Mas’ud berkata: Aku katakan, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan membacakannya kepadamu sementara ia diturunkan kepadamu?”. Beliau menjawab, “Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku.” Maka aku pun membacakan surat an-Nisaa’, ketika sampai pada ayat [yang artinya], “Bagaimanakah jika [pada hari kiamat nanti] Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’: 41). Aku angkat kepalaku, atau ada seseorang dari samping yang memegangku sehingga aku pun mengangkat kepalaku, ternyata aku melihat air mata beliau mengalir (HR. Bukhari [4582] dan Muslim [800])
–
Hadits yang agung ini memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki rasa senang dan menikmati bacaan al-Qur’an yang dibacakan oleh orang lain. Oleh sebab itu Imam Bukhari juga mencantumkan hadits ini di bawah judul bab ‘Orang yang senang mendengarkan al-Qur’an dari selain dirinya’ (lihat Fath al-Bari [9/107]). an-Nawawi rahimahullah berkata,“Ada beberapa pelajaran dari hadits Ibnu Mas’ud ini, di antaranya; anjuran untuk mendengarkan bacaan [al-Qur'an] serta memperhatikannya dengan seksama, menangis ketika mendengarkannya, merenungi kandungannya. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya meminta orang lain untuk membacanya untuk didengarkan, dalam keadaan seperti ini akan lebih memungkinkan baginya dalam mendalami dan merenungkan isinya daripada apabila dia membacanya sendiri. Hadits ini juga menunjukkan sifat rendah hati seorang ulama dan pemilik kemuliaan meskipun bersama dengan para pengikutnya.” (al-Minhaj [4/117])
Hadits ini juga menunjukkan bahwa salah satu ciri orang soleh adalah bisa menangis ketika mendengar bacaan al-Qur’an. Imam Bukhari mencantumkan hadits ini di bawah judul bab ‘Menangis tatkala membaca al-Qur’an’ (lihat Fath al-Bari [9/112]). Lantas, apakah yang mendorong Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika mendengar ayat di atas? Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang tampak bagi saya, bahwasanya beliau [Nabi] menangis karena sayangnya kepada umatnya. Sebab beliau mengetahui bahwa kelak beliau pasti menjadi saksi atas amal mereka semua, sedangkan amal-amal mereka bisa jadi tidak lurus (amalan yang tidak baik) sehingga membuat mereka berhak untuk mendapatkan siksaan, Allahu a’lam.” (Fath al-Bari [9/114])
Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa menangis tatkala membaca al-Qur’an harus dilandasi dengan keikhlasan. Bukan karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Oleh sebab itu, Imam Bukhari mengiringi bab tadi [menangis tatkala membaca al-Qur'an] dengan bab ‘Dosa orang yang membaca al-Qur’an untuk mencari pujian (riya’), mencari makan, atau menyalah gunakannya untuk berbuat jahat/dosa’ (lihat Fath al-Bari[9/114]).
Dan yang lebih utama lagi adalah menangis tatkala sendirian. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang menceritakan 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, yang salah satunya adalah, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian lantas berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari [660] dan Muslim [1031]). an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan menangis karena takut kepada Allah ta’ala dan keutamaan amal ketaatan yang rahasia/tersembunyi karena kesempurnaan ikhlas padanya, Allahu a’lam.” (al-Minhaj [4/354])
Satu pelajaran lagi yang mungkin bisa ditambahkan di sini, adalah keutamaan belajar bahasa arab. Karena dengan memahami bahasa arab akan lebih memudahkan dalam menghayati kandungan al-Qur’an. Oleh sebab itu hendaknya kita lebih bersemangat lagi dalam mempelajari bahasa arab dan mengkaji tafsir al-Qur’an. Allahu a’lam.
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment