“Maka apakah mereka mencari agama yang lain
dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di
langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah
mereka dikembalikan.”
(QS Ali ‘Imraan [3] : 83)
Sahabat, “Sekali kita hidup dan sekali kita
gagal dalam menyikapinya, maka kegagalan beruntun akan menanti sepanjang masa.
Di dunia akan sengsara, sakaratul maut penuh derita, di alam kubur tersiksa, di
alam mahsyar merana dan menjadi penghuni tetap di dalam neraka.” Membaca
kalimat bijak itu, kita ingat kembali dengan ungkapan Imam Ja’far bin Muhammad
Ash-Shidiq, ia berkata,”Siapapun yang hari ini dan hari berikutnya sama, maka
ia adalah orang yang tertipu. Siapapun yang akhir dari dua hari yang
dilewatinya buruk, maka ia adalah orang yang terkutuk. Siapapun yang tak
melihat adanya pertambahan dalam dirinya, maka ia adalah orang yang kekurangan.
Dan siapapun yang dirinya berkekurangan, maka kematian lebih baik baginya
daripada kehidupan.”
Dua nasihat yang sarat makna itu
mengingatkan kita pada kondisi kekinian, dimana kita hidup dan menjalani
kehidupan. Kita saksikan betapa banyak saudara, sahabat ataupun mungkin kita
sendiri yang hingga hari ini tidak tahu tentang arti hakikat dan tujuan hidup.
Terlihat perilaku manusia kebanyakan tidak tampak memperlihatkan kesadaran,
tetapi justru memperlihatkan kemungkaran. Entahlah, sesungguhnya mereka tidak
tahu, atau tidak mau tahu? Tetapi itulah potret buram yang sedang
dipertontonkan makhluk yang bernama manusia.
Marilah kita bertanya,”Sesungguhnya apa
yang sedang kita cari?” Mungkin kita sudah begitu lelah berjalan. Entah sudah
berapa tempat kita datangi dan sudah berapa daerah kita singgahi. Namun hingga
hari ini kita masih terus berjalan, mencari-cari apa sesungguhnya yang kita
cari? Sudahilah perburuan dunia yang memang tak pernah memberikan kepuasan.
Marilah kita catat dalam hati, bahwa tujuan hidup yang sejati adalah apabila
kita mencapai kemuliaan rohani. Sebab keutamaan rohani adalah sesuatu yang
sangat berharga yang dapat diraih manusia. orang yang mempertahankan jiwa dalam
khasanah rohani dan memposisikan dunia hanya sebagai persinggahan dan tempat
mengumpulkan bekal, mereka akan memperoleh kepuasan dalam perjalanan
hari-harinya. Maka mereka tidak mau menukar kekayaan rohani dengan keuntungan
materi sebanyak apapun. Kesadaran rohani yang paling dalam adalah kesadaran
bahwa hidup adalah kesementaraan yang harus dilakukan dengan tanggung jawab.
Dalam dirinya tertanam keyakinan bahwa dunia ini akan berakhir, dan hanya
orang-orang yang bertanggung jawab untuk menunaikan amanahnya yang akan
memperoleh kemenangan. Sebab hidup bagi mereka adalah bukan semata-mata
menuruti selera hawa nafsu, mengejar karir, menumpuk-numpuk harta kekayaan, atau
mengejar pangkat dan jabatan.
Menarik tentang apa yang diungkapkan oleh
Syaikh Ahmad Athaillah ketika berbicara tentang hidup. Beliau katakan: “Ada dua
kedudukan manusia dalam mengarungi hidup ini, yaitu sebagai ‘abid (penghamba)
kepada ma’bud-nya (yang dihamba), yang gelarnya adalah ‘abdullah (hamba Allah).
Sebagai sesama hamba Allah dengan tugas menyelamatkan pemberian Allah dari
kerusakan dan kemusnahan, gelarnya adalah khalifatullah. Dalam arti lain,
tugasnya menunaikan kewajiban terhadap Allah, memuja dan mengingat-Nya, tetapi
juga ia harus menjalankan kehidupan pribadinya dengan keluarga dan masyarakat
sekelilingnya. Jika kedua tugas ini dapat dilaksanakan dengan baik sesuai
dengan ketentuan dan peraturan Allah, maka keberadaan manusia bukan saja mendapatkan
kemuliaan tetapi juga sesuai dengan tujuan ia diciptakan. Itulah dua posisi
hidup manusia, yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah. Dua posisi
ini semakin memperjelas tentang siapa dan untuk apa kita hidup. Dan sekaligus
memperjelas apa yang sedang kita cari dalam hidup.
Sebagai hamba Allah yang meyakini bahwa
kehidupan ini ada dalam genggaman-Nya dan menyadari bahwa setiap gerak akan
dipertanggungjawabkan kepada-Nya, maka konsep tujuan hidup yang mengakar dalam
dirinya adalah menggapai keridhaan Allah melalui penghambaannya yang secara
sadar dan ikhlas dilakukannya. Karena itulah bagi setiap muslim hidup bukan
hanya sebatas ada di dunia, tetapi selalu berusaha memberikan makna tentang
keberadaannya itu. Hidup yang bermakna tidak diukur dari seberapa lama kita
hidup, tetapi diukur dari seberapa efektifkah kita mampu memanfaatkan hidup.
Pencarian kita tentang makna hidup bukan didasari pada kepentingan-kepentingan
materi semata, tetapi harus didasari akan tanggung jawab kita sebagai hamba
yang setiap geraknya selalu terukur pada ketentuan Allah. Dengan konsep hidup
yang seperti ini kita akan mengetahui apa sesungguhnya yang sedang kita cari.
Tiada lain hanyalah menggapai ridha Ilahi untuk kebahagiaan hakiki.
No comments:
Post a Comment