“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang
beriman yaitu ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari
jenis mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, yang menyucikan jiwa
mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah) padahal
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali Imran :
164).
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan ajaran yang diembankan
Allah kepadaku yang berupa petunjuk dan ilmu sebagaimana halnya air hujan yang
deras menyirami bumi.Ada di antaranya tanah yang bagus dan bisa menyerap air
sehingga dapat menumbuhkan tanam-tanaman dan rumput-rumputan yang banyak.Namun,
ada pula tanah yang kering dan bisa menampung air yang dengan perantara itu
Allah berkenan melimpahkan kemanfaatan kepada banyak manusia; mereka minum
darinya, memberikan minum kepada ternaknya, dan mengairi lahan pertanian.
Kemudian ada juga air yang jatuh pada tanah jenis lainnya. Hanya saja itu
adalah tanah yang tandus dan tidak bisa menumbuhkan tanaman; tidak bisa
menampung air dan tidak juga menumbuhkan tanam-tanaman. Maka itulah perumpamaan
orang yang memahami agama Allah dan dapat mengambil manfaat darinya berupa ilmu
yang Allah ta’ala berikan kepadaku; sehingga dia mengetahuinya dan juga
mengajarkan ilmu itu kepada selainnya, dan perumpamaan orang yang sama sekali
tidak mau ambil peduli dengan ajaran yang kubawa dan tidak mau menerima
petunjuk Allah yang disampaikan melalui perantara diriku.” (HR. Bukhari [79]
dalam Kitab al-’Ilm yang dicetak bersama Fath al-Bari, 1/213, dan Muslim
[2282/5912] dalam Kitab al-Fadha’il yang dicetak bersama Syarh Muslim [7/288]
ini lafazh milik Bukhari).
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan sebagaimana dinukil oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan
tentang ajaran agama yang beliau bawa seperti air hujan yang menyirami seluruh
bumi, yang datang kepada manusia ketika mereka benar-benar sangat
memerlukannya, maka demikian pula keadaan umat manusia sebelum diutusnya beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana air hujan dapat menghidupkan negeri
(tanah) yang mati maka demikian pula ilmu-ilmu agama dapat menghidupkan hati
yang mati.” (Fath al-Bari, 1/215).
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini
terdapat pelajaran yang menunjukkan bahwa tidak ada yang menerima wahyu yang
diturunkan Allah yang berupa petunjuk dan agama selain orang yang hatinya
bersih dari kesyirikan dan keragu-raguan. Maka hati yang bisa menerima ilmu dan
petunjuk itu seperti layaknya tanah yang selalu mengharapkan siraman air,
sehingga ia bisa memanfaatkan air itu, hidup, dan kemudian menumbuhkan
tanam-tanaman…” (Syarh Ibnu Baththal [ 1/161] as-Syamilah).
Sungguh benar yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika hati manusia diliputi dengan ketulusan, ikhlas dan keyakinan
yang benar kepada Rabbnya niscaya ajaran Nabi akan mudah diterima dan dilaksanakannya.
Sebaliknya, apabila hati itu dipenuhi dengan riya’, kesyirikan, dan kerancuan
pemahaman atau bid’ah maka jauhlah ia dari jalan yang lurus. Apabila dia
berbicara maka berdasarkan hawa nafsunya. Dan apabila dia bertindak pun
mengikuti hawa nafsunya. Hawa nafsu telah menjadi panglima yang mengendalikan
akal dan pikirannya. Sungguh malang apabila ternyata kita termasuk orang yang
demikian itu.
Ibnu al-Qayyim mengatakan, “Tidaklah kamu jumpai seorang pembuat
bid’ah dalam agama kecuali di dalam hatinya terdapat rasa sempit ketika
menyimak ayat-ayat yang menyelisihi kebid’ahannya, sebagaimana kamu tidak akan
menemukan seorang yang zalim lagi fajir (gemar berbuat dosa) melainkan di dalam
hatinya akan muncul kesempitan tatkala menjumpai ayat-ayat yang menghalanginya
untuk melampiaskan keinginannya (yang terlarang itu). Renungkanlah makna ini
lalu pilihlah apa yang anda senangi bagi diri anda sendiri.” (al-Fawa’id, hal.
80).
Nikmat terbesar untuk kaum beriman, hujan deras yang menyemai
benih kebahagiaan. Sesungguhnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah karunia terbesar bagi kaum beriman. Hati mereka akan hidup dan merasakan
lezatnya iman tatkala mereka mau menerima syari’at dan petunjuk Nabi ini dengan
penuh lapang dada dan tangan terbuka.Allah ta’ala berfirman:
Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang
beriman yaitu ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari
jenis mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, yang menyucikan jiwa
mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah) padahal
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali Imran :
164).
Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman: Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu[605], ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya[606] dan Sesungguhnya
kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS. al-Anfal : 24).
Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kehidupan yang sejati
dan baik adalah kehidupan pada diri orang-orang yang memenuhi seruan Allah dan
rasul dengan lahir dan batinnya… Oleh sebab itu orang yang paling sempurna
kehidupannya adalah yang paling sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 86).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa memenuhi seruan
Allah dan Rasul itu merupakan konsekuensi dari keimanan. Makna dari memenuhi
seruan Allah dan rasul ialah; tunduk kepada perintah-Nya dan bersegera
melaksanakannya, mengajak orang lain untuk melakukannya, menjauhi
larangan-larangan-Nya, menahan diri darinya dan melarang orang lain supaya
tidak terjerumus ke dalam larangan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal.
318).
Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan hati dan ruh
adalah dengan menegakkan ubudiyah (penghambaan) kepada Allah ta’ala, senantiasa
menjalankan ketaatan kepada-Nya, dan ketaatan kepada Rasul-Nya secara terus
menerus.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 318).
Apabila ‘kemarau’ melanda hati manusia
Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kemarau yang melanda
hati adalah kelalaian. Kelalaian itulah hakikat kekeringan dan kemarau yang
menimpanya. Selama seorang hamba tetap mengingat Allah dan mengabdikan diri
kepada-Nya niscaya hujan rahmat akan turun kepadanya sebagaimana layaknya air
hujan yang terus menerus turun. Namun, apabila ia lalai maka ia akan mengalami
masa kering yang berbanding lurus dengan sedikit banyaknya kelalaian yang
terjadi padanya. Dan apabila ternyata kelalaian telah berhasil menjajah dan
menguasai dirinya maka jadilah ‘buminya’ itu hancur dan binasa…” (Asrar
as-Shalah, hal. 4).
Allah ta’ala berfirman :
Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang
yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah
membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
(QS. az-Zumar : 22).
Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh as-Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Bahwa orang-orang semacam itu tidak melembut hatinya untuk
menerima [ajaran] Kitab-Nya, tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya,
serta tidak merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya. Bahkan hatinya selalu
berpaling dari Rabbnya dan condong kepada selain-Nya. Maka mereka itulah
orang-orang yang layak untuk mendapatkan kebinasaan yang amat sangat dan
keburukan yang sangat besar.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).Kemarau di
hati akan menyumbat air mata taubat.
Saudaraku sekalian -semoga Allah menambahkan kepada kita
keyakinan kepada-Nya- apabila kita cermati lagi kondisi hati kita barangkali
keterangan dari ayat-ayat, hadits, dan ucapan para ulama yang kami nukil di
atas akan menyadarkan kita bahwa salah satu sebab pokok jauhnya manusia dari
jalan kebenaran dan sosok ideal pengikut jalan hidup para salafush shalih
adalah karena jauhnya keadaan kita dari kondisi hati orang beriman yang
sesungguhnya.
Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang
yang apabila disebutkan (nama) Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka dan hanya
bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal : 2).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan ketika menerangkan
kandungan ayat ini, “Ayat ini juga menunjukkan bahwa sudah semestinya setiap
hamba menjaga kondisi imannya dan berusaha untuk menumbuh-kembangkan iman itu
di dalam dirinya. Dan cara paling utama untuk bisa mewujudkan hal itu adalah
dengan merenungkan Kitabullah ta’ala dan memperhatikan kandungan
makna-maknanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 315).
Inilah realita yang menimpa kebanyakan manusia! Mereka jauh dari
Kitabullah dan hanyut dalam urusan dunia mereka. Sehingga menyebabkan hati
mereka keras dan mata mereka sedikit sekali meneteskan air mata taubat dan
penyesalan atas dosa-dosanya. Inilah musibah besar yang dikeluhkan Rasulullah
kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan berkatalah rasul;
‘Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang
tidak diacuhkan.” (QS. al-Furqan : 30).
Siapakah mereka yang telah menelantarkan al-Qur’an itu dan tidak
mau mengacuhkannya? Tidak lain adalah kalangan pecandu dosa dan penggemar
maksiat. Oleh sebab itu setelah menceritakan keluhan Nabi ini, Allah ta’ala
menghibur beliau dengan firman-Nya (yang artinya), “Dan seperti itulah Kami
adakan bagi tiap-tiap Nabi musuh dari kalangan orang-orang yang pendosa. Dan
cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. al-Furqan : 31).
Seolah-olah Allah ingin mengatakan kepada Nabi-Nya bahwa kejadian semacam ini
bukan saja menimpamu wahai Muhammad. Karena sesungguhnya para nabi sebelummu pun
mengalami nasib yang serupa. Mereka juga dimusuhi oleh kaumnya dan Kitab
sucinya tidak diindahkan oleh mereka. Maka janganlah engkau sedih, karena
sesungguhnya yang memusuhi ajaranmu adalah barisan orang-orang yang wataknya
memang gemar berbuat dosa (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 582).
Maka apakah yang terjadi -wahai saudaraku yang kucintai- apabila
hati seorang manusia telah diliputi kecintaan yang sangat dalam kepada
sosok-sosok biduanita, kecanduan yang sangat berat kepada irama musik yang
menjauhkan umat dari Rabbnya, begitu haus akan warta terkini mengenai
selebritis idolanya, gandrung akan mode busana ala bintang Hollywood Amerika,
dan sangat hobi duduk di depan layar kaca menikmati sinetron-sinetron yang
dusta, maka saksikanlah akibatnya; mushaf al-Qur’an yang bertebaran di negeri
kaum muslimin seolah menjadi rongsokan tak berharga yang tak diminati oleh
manusia. Maka jadilah hati mereka kering kerontang, malas menjalankan aturan
agama, sedikit menangisi dosanya, bahkan merasa bangga dengan gaya hidup ala
penduduk neraka. Laa haula wa laa quwwata illa billaah!
Inilah keasingan ajaran Islam yang menimpa kaum muslimin dewasa
ini; ketika cengkeraman Yahudi dan bala tentara Iblis tengah bekerja untuk
menghabisi nyawa umat ini dan berusaha meluluhlantakkan benteng pertahanan
mereka. Di manakah kita berada? Apakah kita termasuk antek Yahudi dan Iblis
ataukah pengikut setia ajaran Kitabullah ta’ala? Semoga Allah melindungi kita
dan melimpahkan taufik-Nya kepada kita. Sesungguhnya tipu daya syaitan itu
sangatlah lemah…
Mengapa Hati Membatu?
Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Bada’i
al-Fawa’id [3/743], “Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak
pernah menangis karena takut kepada Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati. Hati yang
paling jauh dari Allah adalah hati yang keras.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar
terlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Ya
Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang
tidak khusyu’, dari hawa nafsu yang tidak pernah merasa kenyang, dan dari doa
yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim [2722]).
Di antara sebab kerasnya hati adalah :
Berlebihan dalam berbicara
Melakukan kemaksiatan atau tidak menunaikan kewajiban
Terlalu banyak tertawa
Terlalu banyak makan
Banyak berbuat dosa
Berteman dengan orang-orang yang jelek agamanya
Agar hati yang keras menjadi lembut [diringkas dari al-Buka' min
Khas-yatillah, hal. 18-33 karya Ihsan bin Muhammad al-'Utaibi]
Disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam al-Wabil as-Shayyib
[hal.99] bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Hasan
al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id! Aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.”
Maka Beliau menjawab, “Lembutkanlah hatimu dengan berdzikir.”
Sebab-sebab agar hati menjadi lembut dan mudah menangis karena
Allah antara lain :
•Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan
perbuatan-perbuatan-Nya
•Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
•Banyak berdzikir kepada Allah
•Memperbanyak ketaatan
•Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang
kematian atau melihat jenazah orang
•Mengkonsumsi makanan yang halal
•Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
•Sering mendengarkan nasehat
•Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan
merasa takut kepada Allah
•Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
•Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api
lalu teringat akan neraka
•Berdoa
•Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri.
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini
termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat
dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan
kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang
sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk
keadaannya (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 225)
No comments:
Post a Comment